Sabtu, 30 September 2017

Buku Air Akar, Menikmati Budaya Nusantara Melalui Cerita Pendek

Buku Air Akar, Menikmati Budaya Nusantara Melalui Cerita Pendek

Awalnya tidak sengaja menemukan buku ini. Saat ada bazar buku Gramedia di Carrefour, saya ikut melihat-lihat. Barangkali ada yang menarik dan murah, pikir saya. Hihihi…maklum sebenarnya bukan saatnya jajan buku saat itu. Tapi jika ada yang terjangkau setara semangkok bakso, ya bolehlah diperhitungkan. Meski itu artinya saya harus mengalah tak makan bakso, tak apalah demi buku (

Ketika melihat buku ini, yang membuat saya tertarik pertama kali adalah keterangannya. Buku ini merupakan kumpulan Cerita Pendek para finalis Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2012. Wah bagus nih, pikir saya. Membaca cerpen-cerpen yang lolos kompetisi menulis dari suatu komunitas, bisa untuk belajar juga. Dan ternyata harganya sedang discount. Sip, saya langsung membelinya.

Dan ternyata, buku ini memang keren. Saya jelaskan dulu identitasnya ya.
Judul buku : Air Akar
Pengarang : Finalis Kompetisi Menulis Tulis Nusantara
Penerbit : PT Gramedia Putaka Utama
Tahun terbit : 2013
Tebal buku : 146 halaman

Buku ini berisi sepuluh cerita pendek yang telah lolos seleksi dari suatu kompetisi yang telah bersaing dengan 1.412 karya. Melibatkan juri-juri para penulis ternama seperti Helvy Tiana Rosa, Ika Natassa, Alberthiene Endah, Eka Kurinawan dan Ollie. Baru membaca pembukaannya saja saya makin tertarik untuk melanjutkannya.

Saya nikmati satu demi satu cerpennya. Masing-masing membawa serta budaya nusantara sebagai latar belakang ceritanya. Ada air akar, yang menjadi judul bukunya, ternyata merupakan ramuan warisan leluhur yang biasa digunakan di daerah Lubuklinggau. Dikemas dengan kisah perjuangan seorang guru muda yang penuh semangat untuk memajukan masyarakat daerah.

Berbagai kisah lainnya juga seru untuk disimak. Dengan tambahan aroma budaya di berbagai wilayah di Indonesia, buku ini memberikan banyak pengetahuan baru tentang kekayaan negara kita. Asiknya, hal itu bisa dinikmati dalam cerita fiksi yang tidak terkesan informatif.

Dengan ukuran yang tidak terlalu tebal, buku ini bisa saya selesaikan dalam sehari saja.  Kisah-kisah dalam cerpennya juga menarik. Alurnya, penokohannya, klimaksnya dan endingnya benar-benar membuat saya ingin melanjutkan membacanya tanpa jeda. Padahal ya, emak-emak beranak dua seperti saya kan rasanya agak susah jika ingin meluangkan waktu khusus membaca satu buku penuh ketika anak-anak belum tidur.

Secara keseluruhan buku ini keren menurut saya. Hanya sedikit kekurangan, yaitu biodata penulisnya ada yang dicantumkan dan ada pula yang tidak. Padahal menurut saya, penting juga agar pembaca bisa mengenalnya. Ada tiga karya yang tidak dilengkapi dengan biodata penulisnya. Juga tetang keseragaman pada informasi tetang penulis, ada yang dilengkapi foto dan ada pula yang tidak. Mungkin ada yang berpendapat itu tak penting, tapi bagi saya hal ini cukup membuat kurang rapi.

#BelajarResensi
#Tulisan1


Sabtu, 23 September 2017

Adab Sebelum Ilmu

Dulu, saya sering merasa sedih, kecewa terus menyesaaal ketika mendapat info tentang suatu acara seminar atau workshop yang ingin saya datangi namun ternyata gagal terlaksana karena tidak diperkenankan membawa anak. Rasanya gimanaaa, gitu. Padahal manfaatnya juga buat anak.

Ibu rumah tangga tanpa ART dan sering ditinggal suami ke luar kota membuat saya lah yang harus menjaga anak-anak sepenuhnya. Nggak bisa menitipkan pada orang lain, jika saya pergi anak-anak selalu turut serta. Maka jika suatu acara tak memperbolehkan membawa anak, saya tak bisa ikut serta.

Hingga saya mendapat materi tentang adab menuntut ilmu dari Matrikulasi IIP waktu itu. Bu Septi menjelaskan tentang pentingnya menanyakan dulu, apakah suatu majelis ilmu memperbolehkan mengajak anak. Jika tidak, jangan gadaikan kemuliaan anak dengan keinginan kita. Jangan sampai kita mengabaikan anak demi urusan kita.

Benar juga sih, jika bukan kemauan anak, pasti mereka cepat bosan, jadinya rewel. Kita pun jadi tidak bisa maksimal belajar. Niat mencari ilmu tapi malah mengurangi hak anak. Lebih baik menunda dulu belajarnya hingga anak-anak telah siap kita tinggal.
"Bersungguh-sungguhlah di dalam, dan kau akan keluar dengan kesungguhan itu."
Nasihat ini selalu saya ingat. Suami, anak, keluarga dulu prioritas utama.

Terkait dengan hobi saya, beberapa kali mendapat info pelatihan menulis offline. Mata sudah berbinar ingin ikut serta. Namun, lagi-lagi terkendala dengan kondisi. Jika jadwal pelatihan di hari kerja, bisa tidak membawa anak, karena mereka sekolah. Tapi, yang jemput anak-anak siapa? Jika pun mereka ikut jemputan sekolah, sampai rumah tak ada orang jika saya pergi. Kalau pelatihan week end, masih bisa ikut jika ada kids corner, kalau tak? Aaahh...masih harus sering membaca lagi mantra dari Bu Septi.

Rejeki itu pasti, kemuliaan yang dicari. Rasanya kalimat itu juga pas untuk meyakinkan saya bahwa sekarang belum rejeki saya ikut beberapa pelatihan offline itu. Pasti ada hikmah di balik semua ini. Apa yang saya dapat jika banyak mendapat ilmu baru tapi menjauhkan saya dari-Nya, dari perintah-Nya? Bahwa saya harus menjaga dengan baik amanah-Nya?

Kembali meluruskan niat...semua untuk Allah. Mainkan saja peran kita sekarang, biarlah Allah yang mengatur kesudahannya. Terus belajar...banyak jalan menuju kesuksesan..in sya Allah.

#MenulisUntukBelajar
#BelajarUntukMenulis

Sabtu, 09 September 2017

Perempuan Itu Ibuku

PEREMPUAN ITU IBUKU

Perempuan itu menangis menyaksikan suaminya tiada
Sendiri memeluk dua anaknya
Adakah salah dalam takdirku, tanyanya pilu
Diam tertunduk lesu, dialah ibuku

Aku menjadi saksi perempuan itu bangkit
Walau menahan perih pundak dan kaki sakit
Mulut terkunci menahan lidah kelu
Tangannya mengepal, dialah ibuku

Tertatih perempuan itu melangkah
Penuh semangat tak pernah goyah
Dalam doa perempuan itu mengadu
Memohon dengan tangan tengadah, dialah ibuku

Dialah ibuku, perempuan biasa yang kuidolakan
Dialah ibuku, perempuan biasa dengan segala kekuatan

Kamis, 24 Agustus 2017

Rindu

Henky memacu mobilnya agar segera sampai rumah. Tugasnya ke luar kota membuatnya tak tahan memendam rindu. Ia membayangkan istrinya di rumah sedang asyik bermain dengan Boni, anjing mereka.

Henky keluar dari mobil. Dugaannya benar.

“Haiii Sayang…” istrinya menyambut kedatangannya sambil menggendong Boni.

“Haaaiii…aku sangat rindu padamu” Henky mencium Boni dan mengambilnya dari sang istri.

#Belajar Flash Fiction
#Romance
#Tulisan5

Hadiah Kejutan

Aku akan segera pulang membawakanmu kejutan

“Laki-laki yang penuh pengertian” gumam Nina setelah membaca sms dari suaminya. Wajahnya ceria.

Kemarin ia menceritakan pada suaminya yang sedang ke luar kota betapa repotnya seharian mengurus rumah dan mengasuh anak balita mereka. Nina tersenyum membayangkan hadiah yang akan diberikan sang suami. Nina bersiap menyambut kedatangan suaminya.

Terdengar suara mobil memasuki halaman. Nina segera menggendong anaknya. Suaminya keluar dari mobil sambil tersenyum. Nina melihat sesuatu.

“Untuk meringankan pekerjaanmu, sengaja aku membawakanmu…” suaminya membuka pintu mobil.

Tiba-tiba pandangan Nina menjadi gelap setelah melihat suaminya menggandeng wanita cantik keluar dari mobilnya.

#Belajar Flash Fiction
#Romance
#Tulisan4

Sabtu, 19 Agustus 2017

Sudah Adilkah Saya?

Pertanyaan di atas mengganggu pikiran saya beberapa bulan terakhir. Saya merasa belum bisa menempatkan diri dengan baik. Ada sesuatu yang harus diperbaiki.

Berawal dari protes yang dilayangkan Mas, putra sulung saya tentang antar jemput sekolahnya. Selama ini ia pulang diantar jemputan dari sekolah. Sedangkan adiknya, masih TK dan beda lokasi sekolah, pulang pergi bersama saya. Mas menanyakan mengapa ia tak diantar jemput oleh saya juga.
"Mas belum pernah dijemput Ibu" protesnya suatu hari.

Saya bukannya tak mau. Saya baru belajar mengendarai sepeda listrik. Dengan mengumpulkan kekuatan saya belajar memboncengkan dan saya coba dulu untuk rute dekat. Makanya saya baru berani mengantar Adik ke sekolahnya. Saya sudah menjelaskan hal ini pada Mas, bahwa saya masih belajar. Sebenarnya Mas sudah cukup mengerti, namun protesnya waktu itu tetap saja membuat beban bagi saya.

Protesnya adalah bentuk ungkapan irinya. Saya merenung. Apakah benar, sikap saya telah menunjukkan bahwa saya telah berlaku tak adil padanya? Hingga ia merasa saya tak memperlakukannya sama dengan adiknya?

Demi menunjukkan bahwa saya pun senang jika bisa mengantar dan menjemputnya sekolah, saya berusaha untuk bisa memboncengkan dua anak sekaligus. Karena saya harus membawa serta adiknya saat mengantar dan menjemput Mas. Bismillaah, dengan sepenuh kekuatan saya beranikan diri untuk melakukannya. Terhitung mulai awal tahun ajaran baru ini saya telah bertambah jabatan, menjadi pengantar jemput Mas :-)

Ma sya Allah, perubahan sikap Mas saya rasakan. Saya bandingkan sikapnya dulu dan sekarang. Jika dulu ia sering berbuat iseng menggoda adiknya, sekarang berubah menjadi lebih lembut dan berkurang isengnya. Ekspresinya saat pulang sekolah pun lebih ceria, lebih terbuka dengan menceritakan berbagai hal, sebelum saya menanyakannya.

Alhamdulillaah, saya masih diberi kesempatan memperbaiki kesalahan yang tak sengaja ini padanya. Karena kurang ilmu, si sulung malah menjadi guru. Masih terus berpikir,  sudah adilkah saya?

#BelajarUntukMenulis
#MenulisUntukBelajar

Rabu, 16 Agustus 2017

Menghadap Raja

Hari Senin kemarin di sela-sela belajar tahsin, teman bercerita tentang kebiasaan ibunya yang selalu mandi sebelum melaksanakan sholat. Ma sya Allah..beliau menjaga kebersihan badannya sebelum menghadap Allah untuk berdoa.

Kisah teman saya tadi mengingatkan saya pada kisah seorang imam zaman dulu yang selalu memakai baju terindahnya dalam setiap tahajud.

Betapa orang-orang itu menjaga kebersihan dan penampilan terbaiknya pada saat sholat, menghadap-Nya. Sungguh suatu bentuk kecintaan, ketaatan, dan penghormatan yang tinggi pada Sang Maha Agung.

Jika kita ingin menemui tamu yang kita hormati saja tentu kita mempersiapkan diri sebaik mungkin. Atau pergi menghadiri suatu undangan, tentulah kita dandan dan ingin tampak rapi dilihat banyak orang. Kita malu jika tampil seadanya. Tapi bagaimana dengan penampilan kita saat memenuhi panggilan Allah dalam sholat?

Astaghfirullaah..pelajaran untuk saya agar terus memperbaiki diri. Masih sering saya lakukan, karena sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, membuat saya sholat dengan penampilan seadanya. Padahal, jika misalnya tiba-tiba ada Pak Camat datang, tidak mungkin lah saya juga menemuinya dengan baju rumah dan jilbab mencong. Lha ini sholat, memenuhi panggilan Allah, Sang Raja alam semesta, pantaskah saya tampil seadanya?

Hikmah dan teguran bisa datang dari mana saja. Alhamdulillaah, dari kisah sederhana ibu teman saya yang selalu mandi sebelum sholatnya memberikan inspirasi bagi saya untuk memperbaiki penampilan saat sholat. Mungkin saya belum langsung bisa untuk selalu mandi dan memakai baju baru dalam setiap sholat, namun saya berusaha memperbaiki penampilan sebelum sholat. Jika selesai masak, dan badan bau keringat ya mandi dulu. Meski bukan baju baru, ya paling tidak bukan daster butut yang dipakai untuk sholat. Meski memakai jilbab, rambut tetap disisir rapi. Masih terus belajar untuk konsisten menjalaninya juga.

#BelajarUntukMenulis
#MenulisUntukBelajar


Selasa, 08 Agustus 2017

Nilai Ulangan

Nilai Ulangan

“Kamu bagaimana sih, masak soal gini aja nggak bisa, makanya belajar” gerutu ibu setelah melihat nilai ulangan Anton.

“Aku sudah belajar” jawab Anton pelan.

“Belajar apa? Kok nilainya cuma dapat lima” ibu membaca lagi kertas ulangan Anton sambil mengernyitkan dahinya, seakan sedang berpikir keras.

Anton menunduk.

Ibu mendekatinya dan bertanya, “Ada apa? Tak biasanya kau begini.”

“Aku tak ingin sombong pada ibu” Anton menyerahkan ijazah ibunya yang ia temukan di bawah tumpukan baju.

Pipi ibu merah melihat angka-angka di ijazahnya.

#BelajarFlashFiction
#Tulisan2

Ibu, Bukan Super Woman

Menjadi ibu itu anugrah. Itu yang saya rasakan. Saya bisa belajar banyak hal setelah menjadi Ibu. Dulu saya nggak pernah masuk dapur. Sekarang, lumayan lah sudah tahu beberapa nama bumbu dan mencoba beberapa resep. Meski belum bisa dibilang enak, tapi cukup lah ketika suami dan anak-anak suka.

Seiring berjalannya waktu, ternyata pekerjaan Ibu seakan tak ada habisnya. Sejak membuka mata di pagi hari hingga tidur malam segala tugasnya masih belum semuanya selesai. Sepertinya waktu 24 jam sehari semalam dirasa kurang.

Antara anugrah dan tantangan. Di satu sisi saya ingin mempelajari dan mengerjakan banyak hal baru. Namun di sisi lain seakan waktu tak cukup mengijinkannya.

Dulu, saya belum bisa mengendarai sepeda. Anak-anak pergi dan pulang sekolah menggunakan jasa jemputan dari sekolah. Saya di rumah belajar memasak dan membuat kue untuk menyambut kedatangan mereka. Kami menikmatinya saat itu.

Kini, ketika saya telah bisa mengendarai sepeda, anak-anak minta saya yang mengantar jemput mereka. Demi mempertimbangkan waktu kebersamaan ibu-anak dan menyiasati waktu untuk lebih dekat dengan mereka, saya pun menyetujuinya. Tampaknya keputusan biasa. Tapi ternyata hal ini cukup banyak menyita waktu saya juga. Sekarang saya hanya sempat memasak dan membuat cemilan yang mudah dan cepat.

Hidup ini pilihan. Tangan saya hanya dua, kaki juga dua. Dengan tenaga yang terbatas juga, saya tak bisa memaksakan diri agar semua pekerjaan bisa saya selesaikan semua. Tak mengapa jika saya melepaskan satu hal demi mendapatkan hal lain yang lebih bermakna. Saya seorang Ibu, bukan super woman.

#MenulisUntukBelajar
#BelajarUntukMenulis

Senin, 24 Juli 2017

Makanan Haram

Makanan Haram

“Pak, ayo kita beli mie goreng” ajak Anto sambil menunjuk sebuah warung makan.
“Jangan di situ lah. Itu makanan haram. Kita nggak boleh makan” cegah bapaknya setelah melihat ada tulisan B2 di depan warung.
“Memangnya kenapa, Pak? Kemarin bapak janji kalau aku hafal Al Fatihah, aku boleh milih makanan sendiri”
“Tapi itu ada babinya. Dulu waktu bapak ngaji, katanya babi itu haram” jelasnya sambil mengusap kepala anaknya.
“Kita makan di situ aja!” Anto berlari menuju sebuah warteg.
Bapaknya mengangguk sambil meraih saku. Diambilnya dua lembar lima puluh ribuan hasil mencopet tadi siang. 

#Belajar FF
#Day 1

Kamis, 20 Juli 2017

Saatnya Sekolah Lagi

Minggu ini anak-anak mulai sekolah lagi. Kembali pada keseruan di pagi hari. Yuhuuu...ada empat orang yang mau mandi pagi buru-buru. Satu ke kantor, dua ke sekolah, dan satu lagi pengantar anak-anak :-)

Belum lagi urusan menyiapkan bekalnya...waaa..ini juga tak kalah seru. Heran juga saya, kalau sarapan di rumah anak-anak mau saja menyantap menu yang sudah tersedia di meja. Tapi kalau untuk dibawa ke sekolah, kenapa jadi lain-lain maunyaaa? Tiga orang yang bawa bekal dengan menu yang berbeda. Jadilah pengantar anak-anak merangkap koki ini mendadak pura-pura handal di pagi hari.

Seruuu yaaa membayangkan kehebohan pagi hari. Apalagi jika ada drama, misalnya susah bangun, atau berebut kamar mandi, ataupun mendadak rewel nggak mau sekolah. Hihihi...ibu rangkap jabatan ini harus tetap waras menghadapinya.

Pernah punya pengalaman serupa kah? Atau saat ini awal baru merasakan punya anak yang mulai sekolah? Saya punya beberapa cara mempersiapkan anak masuk sekolah :

1. Beberapa hari sebelum masuk sekolah, ingatkan kembali anak-anak tentang jadwalnya. Ajak mereka menyiapkan perlengkapan sekolahnya. Biasanya ini membuat mereka mempunyai semangat baru.
2. Ceritakan kembali tentang keseruan di sekolah, yang membuat anak semangat masuk sekolah lagi.
3. Sehari sebelum masuk sekolah, ajak anak menentukan menu bekalnya. Jadi Ibu bisa menyiapkan bahan-bahannya, misalnya malam hari bisa memotong sayurannya dulu, simpan di kulkas, pagi hari tinggal cemplung ke wajan.
4. Malam hari buat kesepakatan jadwal mandi, untuk menghindari berebutan.
5. Tidur tidak terlalu malam agar bisa bangun pagi, dengan berdoa sebelum tidur minta bisa bangun pagi.
6. Ajak anak untuk bersiap bangun pagi, dengan memasang alarm sesuai kesepakatan waktu yang ditetapkan.
7. Pagi hari, bangunkan anak dengan hati senang. Ingatkan bahwa Ibu telah menyiapkan bekalnya :-)

Beberapa cara di atas bisa mengurangi hal-hal yang kurang diharapkan terjadi sebelum berangkat sekolah, khususnya di pagi hari. Anak-anak bisa bangun pagi, bersiap ke sekolah dengan gembira. Ibu pun bisa senyum dengan tenang dan bahagia.

#TulisanSyawal
#MenjagaSemangat

Selasa, 18 Juli 2017

Jika Media Sosial Tak Ada

Beberapa hari lalu ramai teman membicarakan tentang rencana penghapusan media sosial. Hmmm..bagi saya hal ini cukup mengkhawatirkan.

Memang, duluuu tak ada media sosial pun tak mengapa. Dunia juga tak berhenti tanpa Facebook, Twitter, dan teman-temannya. Hidup pun terus berjalan tanpanya. Namun saya tetap khawatir.

Bukan karena takut nggak eksis, bukaaan. Selama ini saya juga jarang update status kok. Saya menggunakan media sosial sebagai sarana belajar. Sebagai Ibu Rumah Tangga beranak dua, saya sangat terbantu dengan media sosial yang ada. Misalnya saya memanfaatkan Facebook untuk ikut bergabung dengan group parenting. Dari sana saya bisa belajar tentang pengasuhan anak dari para orangtua hebat yang telah berpengalaman.

Atau saya juga bisa mengembangkan hobi dengan ikut komunitas menulis. Selain mendapat ilmu yang bermanfaat, saya juga banyak mendapat teman yang memberikan tambahan semangat untuk terus belajar. Hal-hal seperti ini akan lebih susah saya dapatkan secara offline. Diantara tugas mengurus rumah tangga dan keseruan membersamai anak-anak, saya belum punya waktu yang pas untuk ikut pelatihan offline.

Beberapa kali mendapat informasi tentang workshop kepenulisan secara langsung, namun belum rejeki bisa ikut menghadiri. Selain jarak, keadaan juga belum memungkinkan jika harus meninggalkan anak-anak. Kalau online kan bisa tetap ikut belajar, sambil menunggu anak tidur, dan menanti mesin cuci selesai melaksanakan tugasnya :-)

Jadii..jika harus dihapus, mungkin saya harus mencari cara lain untuk belajar, selain membaca. Adakah saran?

#TulisanSyawal
#MenjagaSemangat

Kamis, 13 Juli 2017

Ternyata Cintaku Kini...

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh,

Dear Mas Eko Budhy Prasetya,

Setiap memasuki bulan Juli aku selalu berdebar. Mengingat bagaimana peristiwa penting itu terjadi. Pertama kalinya kita bersentuhan saat aku menyalamimu dengan takzim, usai janji itu kau ucapkan. Aaahhh…masih tak bisa menahan butiran air mengalir dari sudut mataku kala mengenangnya.

Jika banyak remaja yang berkirim surat sebelum resmi menjadi pasangan, maka surat ini kubuat dengan sepenuh rasa untukmu, setelah hampir sembilan tahun kita hidup bersama. Terlambatkah? Kukira tidak…Bukankah cinta selayaknya tetap harus dipelihara? Dan inilah bagian dari caraku untuk tetap menyayangimu, Cintaku…

Surat ini kumulai dengan mengingat pertemuan pertama kita. Kau, yang wajahnya belum pernah kulihat sebelumya datang bersama adikmu, menemuiku. Entahlah, waktu itu aku tak merasakan getaran apa pun. Namun jujur, niat telah kuluruskan untuk mendapat jodoh pilihan-Nya. Berlanjut pada beberapa kali perbincangan melalui telepon, diskusi tentang banyak hal, aku mulai merasa ada sesuatu yang menuntunku membuat catatan tentangmu. Aku, yang sering ngeyel tiba-tiba bisa menerima semua pendapat yang kau berikan. Tentu saja karena kau memaparkan alasan yang bisa dipertanggung jawabkan. Hal itulah yang membuatku berpikir engkaukah calon imamku?

Keputusanmu datang menemui ibu untuk melamarku pun cukup mengejutkan. Dan dengan ijin Allah semua berjalan mudah. Benar- benar tak kusangka. Keluargaku yang belum lama berduka atas meninggalnya bapak, menyiapkan pernikahan sederhana kita.

Tanggal 17 Juli pagi aku telah bersiap. Kukenakan kebaya putih dan bawahan rok batik lengkap dengan kerudung putih berbordir sederhana untuk menyambutmu datang. Hingga ketika akad nikah terlaksana, rasa haru, bahagia, sedih, grogi dan berbagai rasa lain campur aduk di dada. Jantungku berdebar kencang saat kau menggandeng tanganku keluar dari masjid, menuju ke rumah keluargaku. Masih ingatkah ketika kau cium keningku pertama kali, seusai sholat berjamaah di malam pengantin itu? Aku bahkan tak berani menatapmu. Malu dan salah tingkah. Apakah kau juga merasakannya, Cinta?

Selanjutnya, hari- hari penyesuaian kita jalani berdua. Kadang kesal, kaget, kagum bermunculan silih berganti. Aku yang sering ngambek membuatmu bingung. Bukanlah sebuah proses yang mudah. Dengan segala kesalahanku itu, kumohon maaf padamu….

Diam-diam aku belajar banyak darimu. Kesabaranmu membimbingku membuat malu. Aku yang tak pandai memasak, tak pandai merawat rumah, tak pandai melayanimu dan tak pandai menghargaimu. Semua keegoisanku kau balas dengan senyum. Entah berapa banyak kantung sabarmu…

Di sisi lain, kuperhatikan bagaimana kau memperlakukanku. Kau bahkan tak pernah marah padaku, atas semua salah yang pernah ada. Ya Allah…sujud syukurku telah menjodohkanku denganmu, imamku.

Ketika keluarga kita bertambah ramai dengan anak-anak, kau tampil sebagai ayah yang penyayang. Meski lelah setelah seharian mencari nafkah, kau tetap bersemangat menemani dua buah hati kita bermain bersama.

Semakin hari bersamamu, membuatku makin mengerti bahwa Allah mengirimmu untukku sebagai kakak, guru, teman dan pelindung. Darimu aku belajar tentang kesabaran, kelembutan dan kekuatan. Terima kasih suami tersayang…

Dalam kekuranganku kau menyayangi. Dalam kekhilafanku kau memperbaiki. Dalam semangatku kau menyertai.

Hari terus berganti, dan aku makin cinta. Jika dulu aku pernah berjanji cintaku padamu takkan berubah. Namun ternyata kini cintaku padamu telah bertambah. Tetaplah di sampingku, kita bermain bersama kedua anak kita dengan bahagia.

Teruslah berdiri tegak menjadi nahkoda kapal rumahtangga kita. Hingga kita sampai pada tujuan akhir nanti. Bersama kita, sehidup sesurga.

Surat ini kupersembahkan untukmu sebagai kado pernikahan kita yang ke sembilan, minggu depan. Semoga keluarga kita selalu mendapat barakah-Nya.

Wassalamu’alaikum warohmatullaahi wabarokatuh

Dengan sepenuh cinta,
NeVita Siswanti

Kenapa Harus Menulis

Kenapa Harus Menulis

Bagi sebagian orang, mungkin menulis adalah merupakan hobi. Begitu pun saya pada awalnya. Entah kenapa saya lebih tertarik pada kegiatan menulis daripada yang lainnya. Seperti orang –orang yang sangat menyukai permainan sepak bola atau balapan motor, misalnya.

Namun seiring berjalannya waktu, saya merasa menulis bukan hanya sekedar hobi. Lebih dari itu, seperti panggilan jiwa. Saya mencintai kegiatan ini dan merasakan banyak manfaat darinya.  Setidaknya, saya mempunyai beberapa alasan yang membuat saya harus menulis.

1. Menulis untuk mencari pahala
Saya senang membaca buku. Saat membacanya saya kagum pada penulisnya. Betapa jika yang ia tulis memberikan efek positif pada pembacanya, tentulah ia pun berlimpah pahala atasnya. Saya jadi terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Dari satu tulisan, jika dibaca 100 orang, dan mereka terpengaruh menjadi lebih baik, wow bisa dihitung berapa ia akan panen pahalanya. Bagaimana jika dua, tiga, dan banyak lagi? Tentu saja saya akan persembahkan tulisan terbaik untuk mendapatkan balasan terbaik dari-Nya.

2. Menulis sebagai sarana berbagi
Saya termasuk orang yang kurang pandai berbicara secara lisan. Suara rasanya susah keluar jika harus berbicara di hadapan orang banyak. Padahal sebenarnya banyak ide yang muncul di kepala. Bagaimana orang akan tahu pikiran kita jika tak diungkapkan? Karenanya saya memilih menuangkannya lewat suatu tulisan. Mungkin berawal dari kisah atau cerita sederhana, namun semoga bisa memberi inspirasi pada sesama.

3. Menulis sebagai terapi jiwa
Sebagai perempuan, yang konon akan mengeluarkan kata yang jauh lebih banyak daripada laki-laki, saya sangat terbantu dengan kegiatan menulis. Meski tak menemukan teman ngobrol, saya bisa bercerita lewat tulisan. Kebutuhan pengeluaran kata saya sudah aman. Jika kondisi sudah tak nyaman yang membuat emosi meninggi, saya akan menumpahkannya dalam tulisan.  Dan, hasilnya sungguh jauh lebih nyaman. Keluarga pun aman dari omelan, karena hasrat ngomelnya sudah tersalurkan:-)

4. Menulis sebagai kenangan
Berbagai kegiatan dan peristiwa yang terjadi sehari-hari saya abadikan dalam tulisan. Kelak, bisa dikenang. Di masa datang, bisa kembali membuka catatan perjalanan hidup sebagai bahan perenungan, mengambil hikmahnya dan bahan instropeksi diri. Catatan kehidupan itu juga bisa ditunjukkan pada anak-anak sebagai kenangan. Semoga mereka menemukan pelajaran darinya.

5. Menulis adalah mengikat ilmu
Pernah mendapat nasihat dari teman, bahwa menulislah untuk mengikat ilmu yang kita dapat. Dan benar saja, setiap selesai belajar, mendapat ilmu baru, saya mencatatnya. Ternyata hal itu sangat membantu untuk lebih paham tentang materi tersebut. Di lain waktu, jika lupa saya bisa kembali membuka catatan yang saya buat, tentu akan lebih mudah dimengerti kembali, karena tulisan itu saya buat sendiri.

Itulah beberapa alasan saya saat ini. Bukan tidak mungkin akan bertambah kelak, karena saya masih terus belajar. Menulis untuk belajar, dan belajar untuk menulis, lebih dan lebih baik lagi, in sya Allah…

#TulisanSyawal
#MenjagaSemangat

Rabu, 12 Juli 2017

Komunikasi Produktif Lebaran

Bismillaah, menuliskan pengalaman lebaran tahun ini untuk introspeksi diri dan pengingat di masa datang.

Lebaran, saatnya bertemu dengan banyak orang. Yang jarang berjumpa di hari-hari biasa ada kesempatan bertukar berita. Demi rindu yang tersimpan membuat kita antusias bercerita  dan bertanya apa saja. Bertemu kembali dengan kawan lama tanpa sadar memancing pembicaraan yang kurang produktif.

"Eh, gimana kabar si A? Udah lama hilang kontak dengannya", tanya saya.
Kawan saya dengan semangat menjawab, "Dia kan begini dan begitu...Tau nggak sebenarnya dia itu..."

Saya terdiam. Merasa ada yang salah dalam percakapan ini. Maksud hati ingin menyambung silaturahmi, namun bisa jadi terjebak dalam ghibah tanpa disadari. Alih-alih lebaran kita mengubah diri lebih baik pasca Ramadhan, malah menambah dosa dengan bergosip ria.

Teringat materi komunikasi produktif  dalam kelas Bunda Sayang IIP dan hadits tentang bicara yang baik atau diam. Aaahh..masih tertatih lisan ini untuk menjadi lebih bermanfaat.

Kiranya ada beberapa hal yang saya catat agar meminimalkan ghibah tak sengaja :
1. Tanyakan kabar secara umum
2. Jika lawan bicara mulai bergosip, coba alihkan dengan sopan.
3. Jika ingin memberikan saran, katakan dengan santun, tanpa menggurui
4. Jika mendengar suatu kabar atau kisah tentang seseorang, sebaiknya tidak membicarakan tentang orangnya, namun mengambil hikmah atas peristiwa tersebut.
5. Jangan mengungkit masa lalu yang memancing ghibah

Tak mudah memang menjaga lisan. Tapi terus belajar untuk memperbaikinya merupakan usaha mendapat ridho-Nya, in sya Allah...

#TulisanSyawal
#MenjagaSemangat

Kamis, 06 Juli 2017

Mudik yang Berkesan

Bismillaah, mencoba menuliskan kisah mudik lebaran kami kemarin. Sebagai kenangan dan belajar mengambil hikmah di tiap kejadian yang dialami.

Ramadhan kali ini anak sulung saya (almost 8yo) puasa sehari penuh, atas kemauan nya sendiri. Menjalani puasa 25 hari kemudian sakit, muntah-muntah dan demam.

Rencana mudik yang sedianya akan kami laksanakan pada dua hari menjelang lebaran pun harus ditunda, menunggu si sulung sehat betul. Setelah berkonsultasi dengan dokter, kami meminta pendapat si sulung tentang rencana mudik. Sebenarnya ia semangat untuk mudik, namun tak begitu yakin dengan kondisi badannya yang masih agak lemas. Dokter mengijinkan membawa si sulung mudik, dengan catatan ia harus sering makan dan minum untuk menstabilkan lambungnya. Alhamdulillaah, tak ada hal serius yang dikhawatirkan.

Demi kenyamanannya, kami menyulap mobil menjadi kamar tidur. Kursi tengah kami lepas dan menggantinya dengan kasur. Si sulung senang, bahkan adiknya juga ikut tidur di kasur. Malam menjelang hari raya kami meninggalkan Bekasi menuju Kutoarjo. Setelah memantau kondisi lalu lintas jalur utara dan selatan melalui media sosial, kami memutuskan masih bisa lewat tol Cipali. Namun tetap menyiapkan alternatif jalur lain jika Cipali macet.

Sepanjang jalan anak-anak tidur, hanya sesekali bangun untuk minum. Si sulung pun tidak muntah, hal yang saya khawatirkan sebelumnya. Saya dan suami berdua melantunkan takbir sendiri di dalam mobil, di jalan tol tak terlihat dan tak terdengar takbir kemenangan meski malam itu ramai orang takbiran. Hal romantis yang saya kenang, menikmati malam bersama suami, sesekali memijit pundaknya, menyuapinya cemilan atau bercerita apa saja untuk mengusir kantuknya. Melewati malam berdua saja....

Setelah beristirahat dua jam di rest area, kami melanjutkan perjalanan. Suami sempat berkata, jika bisa sholat ied di Wangon sudah bersyukur karena jalanan ramai. Ternyata shubuh kami sudah sampai Wangon. Dan memasuki Gombong sudah saatnya sholat ied. Alhamdulillaah, bisa sholat ied meski nggak sempat mandi pagi :-)

Oia, sebelum berangkat kami telah mempersiapkan bekal makanan termasuk untuk sarapan pagi ini. Kami telah mempertimbangkan pagi hari raya belum ada warung makan yang buka. Jadi seusai sholat ied kami makan pagi bekal dari Bekasi. Dan dugaan kami benar, sepanjang jalan, pagi itu kami belum menemukan rumah makan yang buka.

Sekitar jam 9.30an kami sampai, bisa bertemu Ibu dan adik saya. Alhamdulillaah, anak-anak nggak rewel, jalanan relatif lancar, bisa sholat tepat waktu, mudik yang aman, nyaman dan bahagia.

Belajar dari kisah mudik ini, ada pelajaran yang bisa diambil. Bahwa tugas kita adalah berusaha, Allah lah yang menentukan. Jika menemukan kendala, tantangan (saya tak menyebutnya masalah) agar tak pantang menyerah. Teruslah berpikir positif, berbaik sangka pada-Nya, in sya Allah akan ada kemudahan, bahkan lebih dari yang kita bayangkan.

#TulisanSyawal
#MenjagaSemangat

Rabu, 05 Juli 2017

Merindumu

Dalam keriuhan aku menepi
Mencoba bertanya pada hati
Mengapa semangat memudar kini

Sujud yang kemarin syahdu
Tilawah yang kemarin merdu
Mengapa telah cepat berlalu

Jika Ramadhan bulan latihan
Selayaknya Syawal melahirkan teladan
Dan sepuluh purnama menjadi kebiasaan

Namun, kala takbir bergema
Aku seakan lupa
Akan segala janji saat puasa

Kembalikan Ramadhanku
Aku merindumu

#TulisanSyawal
#MenjagaSemangat

Senin, 26 Juni 2017

Ibu, Pandai Dalam Berperan

Mudik, kembali bertemu ibu. Bagiku, bukan hanya untuk melepas rindu, namun juga kesempatan bisa belajar lebih banyak secara langsung. Kekagumanku pada beliau bukan karena dia yang telah melahirkanku. Tetapi lebih karena pengamatanku padanya terhadap pilihan sikapnya selama ini.

Pertama kali aku mengaguminya ketika dokter menyatakan ibu menderita hipertensi dan harus menjaga makanan yang dikonsumsinya. Dari beberapa orang yang kutahu, seperti saudara, teman orangtuaku, maupun orangtua temanku, banyak yang melanggar nasihat dokter dengan makan makanan pantangan. Namun tidak dengan ibuku, beliau konsisten menjaga asupan makanannya. Saat itu aku masih SMA. Hingga kini aku telah beranak dua.

Ketika bertambah dewasa, kuperhatikan kehidupan ibuku dengan lebih teliti. Dan aku menemukan hal-hal menarik yang menginspirasi. Saat bapak masih hidup, ibu selalu mendukung aktivitas suaminya, dengan caranya. Bapakku sangat aktif berorganisasi. Sebenarnya Ibu pun punya kesempatan yang sama. Namun Ibu memilih menjaga anak-anak di rumah. Juga dalam karir, Ibu selalu menempatkan diri agar bapak yang lebih tinggi dan cepat naiknya, meski sesungguhnya ia mampu.

Hal berbeda terjadi saat bapak meninggal. Peran orangtua beliau ambil alih semua. Dan ternyata terbukti bahwa ia mampu. Karirnya melejit karena tawaran yang dulu ia tolak demi memposisikan diri tak sejajar atau bahkan membuatnya lebih tinggi dari bapak kini ia terima dan berhasil dijalankan dengan baik.

Peran lain yang kukagumi saat aku telah menikah. Beliau sangat paham jika anak perempuannya kini milik menantunya, orang yang baru menjadi bagian keluarga. Selalu mengingatkan aku harus mendahulukan suami dan keluarganya, dibandingkan ibu. Selalu menghormati caraku dan suami mendidik anak-anak. Beliau tak menggurui meski telah lebih dulu berpengalaman. Terhadap anakku beliau tak memanjakan. Bahkan ikut mendukung apa yang telah aku dan suami tetapkan. Beliau percaya, kami telah menyiapkan yang terbaik bagi cucunya.

Dari caranya bersikap dan menjalankan perannya, aku diam-diam mempelajarinya. Dengan caranya, ia telah mengajarkanku bagaimana menempatkan diri, sebagai istri, sebagai ibu, sebagai menantu, dan kelak sebagai mertua dan sebagai nenek.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeTigaPuluh

Sabtu, 24 Juni 2017

Menikmati Kesedihan

Hari Rabu kemarin sang kakak muntah-muntah usai pulangnya dari sholat isya di mushola. Ia tak melanjutkan berjamaah tarawih, pusing katanya. Saya memberinya obat maag, karena tidak ada makanan yang aneh saat buka puasa tadi.

Namun hingga esoknya belum juga sembuh. Badannya pun panas. Kebiasaannya jika demam, ia mengigau saat tidur. Saya menemaninya, memeluknya, memijit kepalanya yang sakit dan mengelus punggungnya yang pegal. Tiba-tiba saya merasa bersalah padanya, selama ini kurang waktu khusus untuknya. Sejak punya dua anak saya harus berbagi waktu dengan adiknya.

Biasanya hampir setiap kegiatan kami jalani bertiga atau bahkan berempat dengan ayahnya. Jarang saya berdua saja dengan si kakak. Tapi dengan sakit ini kami tidur berdua tanpa ada adiknya di tengah, bisa menyuapinya lagi, bisa bercerita hanya berdua saja. Bersyukur adiknya sudah mengerti jika kakak sedang sakit dan perlu perhatian dari saya.

Catatan buat saya agar bisa mengatur strategi hingga dapat meluangkan waktu khusus untuk masing-masing anak, berdua saja dengan kakak dan berdua saja dengan adik. Sehingga mereka merasa tercukupi kebutuhan kasih sayangnya.

Alhamdulillaah, Allah beri peringatan lewat sakitnya kali ini. Meski sedih karena ia sakit yang membuat jadwal mudik kami terlambat, namun ada pelajaran berharga yang bisa diambil. Ada kebahagiaan saat menikmati waktu berdua saja dengannya. Selalu ada hikmah dibalik suatu peristiwa. Belajar mensyukuri apapun keadaan pemberian-Nya...

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDuapuluhSembilan

Memaafkan Adalah Amalan Menuju Surga

"Mas, ini mobil mainanmu di sini ternyata" teriak si bungsu sambil menunjukkan mobil kakaknya yang ia temukan diantara tumpukan mainannya.
Tak ada raut kesal pada wajahnya. Padahal, sebelumnya sang kakak menyembunyikan boneka kecilnya hingga membuatnya sedih.

Saya, melihat kejadian itu jadi malu. Bahwa anak sekecil itu sudah bisa memaafkan kesalahan kakaknya yang jelas-jelas disengaja. Tanpa ada rasa dendam, bahkan membalasnya. Sedangkan saya, seringkali masih menyimpan rasa kesal, tak terima dan mengingat selalu kesalahan orang lain. Padahal kadang sudah saling memaafkan, secara lisan. Tapi ternyata hati sulit sekali memaafkan secara tulus.

Teringat tausiyah dari seorang ustadz bahwa di zaman Rasulullah ada sahabat yang sudah dijamin masuk surga hingga membuat sahabat lain penasaran terhadapnya. Setelah diikuti kesehariannya, tak ada kegiatan khusus yang dilakukan olehnya. Hingga seorang sahabat menanyakan apakah yang dilakukannya yang belum diketahui orang sampai Rasul mengatakan telah dijamin surga baginya. Ternyata setiap malam sebelum tidur ia selalu memaafkan orang lain.

Ma sya Allah, amalan memaafkan ternyata bisa menjadi jalan masuk surga. Terdengar sederhana ya, memaafkan, namun ternyata butuh keluasan hati dan keikhlasan tingkat tinggi untuk benar-benar melakukannya. Bukan hanya terucap di lisan, namun hingga hati ini sungguh telah ikhlas memaafkannya.
Bismillaah, belajar memaafkan demi mencapai surga-Nya...

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDuapuluhDelapan

Menulis Sebagai Terapi Jiwa

Sejak dulu saya suka menulis. Waktu kecil, setelah membaca cerita dari suatu majalah saya akan membuat cerita sendiri dan menuliskannya untuk teman. Saya masih ingat, saya membuat surat untuk teman sebangku semasa SD. Kebiasaan ini berlanjut hingga saya dewasa. Di sela-sela kesibukan bekerja, saya masih suka membuat cerita dan menunjukannya pada teman-teman dekat.

Ketika telah menikah dan punya bayi, awalnya kegiatan menulis sempat terhenti, karena repotnya. Hingga suatu saat saya sedang merasa kesal, saya manfaatkan untuk menggosok lantai kamar mandi dengan maksud hati menyalurkan tenaga marah untuk kegiatan positif. Namun sampai tangan pegal saya masih belum lega juga. Akhirnya saya tulis isi hati saya dalam berbagai bentuk, puisi, surat, hingga cerpen. Setelah itu rasanya lebih legaaa...

Saya baru tahu kalau yang saya lakukan itu bagian dari terapi jiwa ketika membaca kisah Pak Habibie setelah ditinggal Bu Ainun meninggal dunia. Kala itu Pak Habibie mengalami kesedihan mendalam hingga dokter menyarankan empat hal, yaitu dirawat di RSJ, berobat di rumah dengan pengawasan dokter yang datang, curhat kepada orang terpercaya, atau curhat pada diri sendiri. Dan beliau memilih yang keempat, yaitu curhat pada diri sendiri dengan menuliskannya hingga berhasil menjadi buku. Dengan menulis, Pak Habibie bisa sembuh dari sedih yang berkepanjangan. Dengan menulis, beliau bisa bangkit dan kembali berkarya positif.

Kisah Pak Habibie dengan tulisannya membuat saya menjadi rajin menulis kembali. Apa saja bisa jadi tulisan. Kisah sedih, bahagia, kesal, kecewa, senang bisa menghasilkan tulisan yang menenangkan jiwa saya. Saya belajar untuk bisa menulis dengan lebih baik agar bermanfaat bagi orang lain. Tapi setidaknya, dengan menulis membuat saya menjadi tenang, bisa menjaga kestabilan emosi saya. Mari menulis lagi....dan bahagia kan datang, in sya Allah..

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDuapuluhTujuh

Jumat, 23 Juni 2017

Orangtua dan Teman Sebaya

Selepas maghrib saya ada perlu keluar rumah untuk membeli sesuatu. Melewati ruko yang ramai dengan anak remaja tanggung, saya pun memperhatikan sekilas. Ternyata sebuah rental play station (PS).

Pernah di suatu pagi saya menemukan rental PS itu sudah ramai dengan anak-anak. Yaah, memang tidak pagi sangat, tapi masih bisa dibilang pagi, saya saja baru pulang dari pasar.

Saya jadi berpikir, anak-anak itu sangat bahagiakah di rental PS? Hingga siang malam bahkan pagi mereka asyik memainkannya. Tidakkah punya kegiatan lain yang lebih seru? Begitu pula orangtuanya, tak merasa khawatirkah? Wallaahu 'alam.

Hal ini mengingatkan saya pada cerita Teh Kiki Barkiah dalam bukunya 5 Guru Kecilku, pentingnya orangtua menyiapkan pertemanan dan sosialisasi anak-anak nya. Kita sekarang hidup di akhir zaman, dengan tantangan yang luar biasa hebat untuk tetap bisa memilih menjadi manusia yang berperan dalam kemenangan Islam.

Aaah... saya jadi ingin memeluk anak-anak dan mengajaknya bermain sambil menyisipkan kisah-kisah teladan yang membuatnya semangat menjadi pribadi beriman dan cinta Rasul. Memang kita tidak bisa menutup mata dari riuhnya pergaulan di luar sana, namun saya ingin membekali anak-anak agar mempunyai kekebalan jiwa dalam memilih mana yang baik dan yang bermanfaat saja.

Besarnya amanah kita sebagai orangtua yang harus menunjukkan jalan lurus bagi anak-anak, termasuk memilih teman. Kadang anak yang beranjak baligh lebih suka bernain dengan temannya daripada orangtuanya. Di sinilah PR nya, bagaimana kita sebagai orangtua menjadikan teman terpercaya bagi anak-anak, hingga ketika mereka mempunyai teman pun akan menceritakannya pada kita. Dan orangtua hendaknya menjadi teman yang asyik bagi mereka selayaknya sahabat. Belajar terus menjadi orangtua...

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDuapuluhEnam

Selasa, 20 Juni 2017

Mudik yang Sesungguhnya

Lebaran tinggal menghitung hari yaa..Sebagian bahkan sudah mudik ke kampung halaman untuk berkumpul dengan sanak saudara. Untuk mudik, apalagi yang jaraknya lumayan jauh, tentu perlu banyak persiapan yang cukup.

Saat saya mempersiapkan sekedar buah tangan untuk dibawa mudik nanti, ternyata cukup repot juga. Belum perlengkapan untuk kami sekeluarga seperti baju, bekal makanan dan obat-obatan. Padahal menurut saya itu sudah dipilih yang penting-penting saja. Saat melakukan reka adegan untuk nanti dalam perjalanan, rasanya kami akan sulit membawa semua barang itu, ditambah menggendong dan menggandeng anak-anak.

Saya jadi teringat kata seorang ustadz, entah siapa dan di mana saya lupa, mengatakan bahwa sesungguhnya kita ini bukan penduduk bumi, kita adalah penduduk surga. Yang artinya suatu saat nanti kita akan pulang ke sana. Jika diibaratkan kondisi sekarang nanti kita akan mudik ke akhirat tujuan surga.

Lalu, jika mudik ke tempat di dunia saja penuh persiapan, bagaimana dengan mudik abadi nanti?Apakah yang telah saya persiapkan untuk menuju ke sana? Sudah cukup bekal kah? Sudahkah saya juga mencoba reka adegan dengan bekal yang akan saya bawa nanti? Ya Allah...ampuni saya...Tiba-tiba air mata menetes...

Masih ada beberapa hari Ramadhan untuk kita maksimalkan amal kebaikan. Juga hari-hari berikutnya tetap dengan amalan segiat Ramadhan. Yuk, perbanyak bekal untuk pulang ke kampung akhirat nanti. Pun perlu memilih bekal yang penting dan baguslah yang akan kita bawa. Jangan sampai kita kurang bekal atau salah membawa bekal. Semoga kita kembali berkumpul dengan keluarga dengan bahagia di surga-Nya, aamiin.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDuapuluhLima

Siapkan Mental Bahagia Sebelum Mudik

Mudik merupakan kesempatan bertemu dengan sanak saudara dan teman-teman lama. Ada kebahagiaan tersendiri bisa melepas rindu dengan mereka. Namun ada kalanya karena jarang bertemu itu, memicu percakapan yang kebablasan.

Teringat dulu awal aku resign. Orangtua sih nggak masalah karena sudah tahu alasannya. Tapi malah saudara jauh yang berkomentar nggak enak di hati. Memang kadang orang yang tak mengenal kita dengan baik itu yang memberikan komentar sok tahunya.

"Jadi kamu udah nggak kerja lagi? Sayang banget dong"
"Kok betah sih di rumah aja seharian?"

Kalimat-kalimat begitu bisa merusak suasana lebaran yang syahdu.

Belajar dari pengalaman itu, kini tiap kali hendak mudik aku menyiapkan beberapa hal berikut :
1. Menguatkan diri beberapa waktu sebelum mudik. Termasuk minta dukungan suami tentang masalah ini. Agar kami saling mengingatkan dan menguatkan.
2. Menata hati bahwa yang kita lakukan adalah karena Allah dan itu keputusan terbaik yang kita pilih. Tak perlu penilaian orang tentang hal ini.
3. Anggap orang yang berkomentar sok tahu itu berarti peduli dengan kita, maka bersyukurlah.
4. Tak perlu baper dengan komentar mereka, kan orang yang sok tahu berarti sebenarnya malah nggak tahu :-p Jadi tak perlu terlalu memikirkannya.
5. Hadapi dengan senyum penuh keyakinan. Karena kalau kita mantab memberi jawaban, hati kita pun bahagia. Berharap orang lain akan merasakan aura bahagia kita.

Jika kita terlihat gembira dan menikmatinya, serta memberikan jawaban dengan mantab penuh senyuman, in sya Allah orang lain akan tertarik atau setidaknya menghargai pendapat kita. Namun ingat, jangan balas komentar miring mereka dengan hal serupa atau bahkan dengan nyinyiran kita.

Mudik dan lebaran adalah saatnya bahagia, maka selayaknya kita bagikan pula kebahagiaan pada semua. Saatnya mudik yang bahagia...

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDuapuluhEmpat

Minggu, 18 Juni 2017

Tips Mudik Bersama Anak Ala Bunda Arfa

Beberapa hari menjelang lebaran, hawa mudik sudah mulai terasa ya? Informasi pantauan lalu lintas pun mulai rame di beberapa timeline media sosial serta televisi.

Bagi keluarga yang membawa anak kecil, apalagi lebih dari satu balita, tentu mudik perjalanan jauh menjadi tantangan tersendiri.

Berdasarkan pengalaman kami mudik road show dari Jawa Barat - Jawa Tengah - Jawa Timur dengan duo balita, ada beberapa tips yang saya catat, diantaranya :

1. Komunikasikan tujuan perjalanan kita pada anak-anak beberapa hari sebelum keberangkatan. Beri gambaran berapa lama kita akan bepergian, berapa kira-kira lama perjalanan dan transportasi yang akan digunakan.
2. Jika anak sudah berusia 4 tahun ke atas, libatkan dalam persiapan perlengkapan mudik. Berikan kesempatan mereka memilih beberapa mainan yang akan dibawa.
3. Siapkan perlengkapan obat-obatan di tempat yang mudah diambil. Begitu juga dengan baju anak.
4. Selama perjalanan, simpan HP sementara waktu, namun letakkan di tempat yang mudah diraih. Saya malah lebih suka mematikan jaringan internetnya, selain hemat baterai, juga membuat tak terganggu dengan notif yang masuk. Jika memang penting, orang akan menghubungi kita dengan menelepon.
5. Dalam perjalanan, ajak anak-anak bersenang-senang. Bisa bernyanyi bersama, bermain tebak-tebakan atau cerita berbagai hal yang mengasyikkan.
6. Tanyakan pendapat anak tentang kondisinya, misal pusing, ingin ke toilet atau lelah, lapar, dan mengantuk. Pertimbangkan waktu istirahat akan lebih banyak karena adanya anak-anak.
7. Jadikan perjalanan mudik sebagai family time yang seru, meski dengan obrolan ringan seperti menghitung roda mobil yang terlihat di depan atau samping kita. Belajar tentang transportasi dan adab bepergian bisa dijadikan tema diskusi.

Itulah beberapa hal yang saya ingat agar anak tak rewel selama perjalanan mudik. Yang tak kalah penting, kita harus menjaga kesehatan dan kesabaran. Karena jika kita tenang dan bahagia, in sya Allah anak-anak lebih mudah untuk diajak bekerjasama.

Selamat mudik...semoga lancar dan selamat sampai tujuan, aamiin.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDuapuluhTiga

Mudik Ke Mana?

Melihat iklan di TV suatu agen perjalanan dibintangi pasangan suami istri yang sedang berselisih tentang tujuan mudiknya, saya jadi tertarik untuk menuliskannya. Bukan tentang agen travel mana yang dipilih, tapi tentang perdebatan ke mana mudiknya.

Bagi pasangan suami istri perantau, tentu harus menentukan di mana mereka melewatkan hari raya, di tempat orangtua suami atau orangtua istri. Jika tidak diperoleh titik temu kesepakatan, kadang masalah ini bisa membuat tak nyaman, apalagi di hari-hari terakhir Ramadhan, nggak enak banget kan?

Di sinilah perlunya komunikasi dan saling mengerti antara suami, istri dan orangtua mereka. Kadang keputusan mereka dipengaruhi juga oleh pendapat orangtua. Misal pasangan suami istri sudah sepakat kali ini mereka akan berlebaran di orangtua istri. Ternyata orangtua suami mendengar rencana mereka dan kurang setuju. Mereka berharap lebaran semua bisa berkumpul di rumah orangtua sang suami. Maka galaulah pasangan suami istri ini...

Hendaknya masing-masing bisa memahami perasaan orang lain. Jika suami paham bahwa istrinya juga ingin berkumpul dengan orangtuanya, seperti halnya dirinya. Demikian pula dengan sang istri. Begitu pula dengan para orangtua, yang kadang lupa bahwa anaknya kini telah menikah dan mempunyai dua pasang orangtua. Tidak perlu merasa dikalahkan jika belum mendapat giliran. Ini bukan tentang perlombaan, ada yang menang dan kalah :-)

Setiap anak pun pasti ingin juga membahagiakan orangtuanya. Tapi kini memang waktunya harus berbagi. Tentu dengan berbagai pertimbangan yang berbeda untuk tiap keluarga. Namun kiranya bisa diputuskan dengan rasa cinta dan kebesaran hati untuk kebahagiaan bersama.

Jadi, mudik ke mana kali ini? Ke rumah orangtua maupun mertua sama saja, syukur bisa keduanya. Yang penting niatkan silaturahim dan bakti pada mereka. Selamat mudik yang bahagia....

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDuapuluhDua

Jumat, 16 Juni 2017

Mendidik Anak Laki-laki Cinta Masjid

Hari ini saya mendapat buku baru, Mendidik Anak Laki-laki karya DR. Khalid Asy-Syantut. Saya mulai membacanya dan mencoba menuliskan untuk mengikat ilmunya.

Dalam buku itu disebutkan tentang peran masjid dalam pembinaan pemuda. Masjid tidak hanya digunakan untuk ibadah sholat saja namun juga sebagai tempat pendidikan kedua setelah keluarga. Lalu, bagaimana caranya membuat anak cinta masjid? Berikut jawabannya :

1. Anak adalah peniru ulung. Maka tugas orangtua adalah menjadi teladan bagi anaknya. Jika ayah atau saudara dewasa rajin pergi ke masjid, maka anak akan lebih mudah mengikutinya.
2. Menceritakan keutamaan masjid. Bisa dimulai dengan Ibu berkisah dengan lembut misalnya tentang kesucian masjid.
3. Para pengurus masjid sebaiknya menyambut anak-anak dengan ramah. Dalam buku ini dicontohkan pengurus masjid memberikan hadiah kecil bagi anak dalam menyambutnya.
4. Memerintahkan anak usia tujuh tahun ke atas agar sholat berjamaah di masjid.
5. Membiasakan anak memenuhi kebutuhan pendidikannya di masjid, misal belajar Al Quran. Atau bisa juga masjid menyediakan permainan seperti berlatih berkuda, memanah agar anak lebih tertarik.
6. Membentuk tim nasyid anak juga bisa dilakukan. Mengenalkan Allah dan Islam melalui syair yang indah pada anak-anak.

Dari uraian di atas selayaknya kita menciptakan masjid yang ramah anak agar mereka tak takut ke masjid, bahkan suka ke masjid dan menjadikan pemuda yang cinta masjid.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDuapuluhSatu

Kamis, 15 Juni 2017

Pentingnya Figur Ayah

Bismillaah, mencoba menuliskan hikmah tontonan tadi siang. Sebenarnya telah sering pula mendengar materi ini disampaikan oleh Ustadz Bendri dan ustadz yang lain tentang pentingnya peran ayah.

Tapi melihat tayangan tadi makin membuktikan bahwa sosok ayah itu sangatlah penting. Salah satu peserta Hafidz Indonesia adalah Enri, anak kecil kelas tiga SD yang berasal dari Ternate. Ia belajar membaca dan menghafal Al Quran secara autodidak. Ayahnya bahkan belum bisa membaca huruf hijaiyah.

Siang tadi Enri tampil dengan ayahnya membacakan Surat Al Lahab sampai An Naas. Meski sang ayah beberapa kali keliru dan lupa hafalannya, Enri dengan tenang mengingatkan dan membantu ayahnya memperbaiki Surat yang dibaca.

Ketika ditanya Abi Amir Faishol, apakah Enri bangga dengan ayahnya? Sambil menggandeng tangan ayahnya Enri menjawab bangga dan sangat sayang dengan ayah yang selalu menemaninya. Betapa kehadiran ayah sangat berharga bagi anaknya.

Pun ketika Irfan Hakim sebagai host menceritakan kisah pribadinya. Bahwa karena kesibukannya, ia jarang bersama dengan anak-anak nya. Suatu hari Irfan mengajak anak-anak nya sholat berjamaah, dan anak lelakinya yang masih kecil mengambil mukena. Irfan sedih melihat kejadian itu, anak lelakinya sampai menganggap sholat itu harus memakai mukena karena seringnya hanya melihat ibunya yang sholat. Karena jarangnya anak lelaki kecil itu melihat sosok ayahnya di rumah dengan segala kegiatannya sehari-hari. Sambil terisak Irfan bercerita akhirnya dia cuti dan mengajak anak lelakinya sholat di masjid.

Mungkin sederhana, tapi kisah di atas sangat berkesan bagiku. Terutama kini sebagai pengingat untukku dan suami terhadap anak-anak. Bahwa mereka tak hanya butuh makanan bergizi dan materi lain namun juga kehadiran dan figur kita sebagai teladan.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDuapuluh

Rabu, 14 Juni 2017

Reuni

Libur lebaran kali ini aku mendapat undangan reuni SMP, setelah tergabung dalam grup WhatsApp. Namun sepertinya aku tak dapat menghadirinya, tak cukup waktu karena aku mudik ke tempat mertua juga.

Jadi teringat tahun lalu, saat mudik ke tempat suami. Ada banyak undangan reuni yang ia terima. Mulai teman SD, SMP, dan SMA. Belum yang kuliah juga, di tempat berbeda. Banyak juga ya, jadi serasa artis, hehe..

Saya bukan tidak setuju dengan banyaknya acara reuni itu, tapi bagaimana kita harus memprioritaskan tujuan mudiknya. Menurut saya, kami mudik untuk mengunjungi orangtua dan saudara yang karena jarak jarang bertemu. Jika hanya punya waktu cuti terbatas, lebih baik kita manfaatkan untuk bercengkerama dengan orangtua dan saudara-saudara.

Jangan sampai kita lupa karena senangnya ingin bertemu teman-teman lama hingga melupakan hak orangtua untuk kita temani dan bahagiakan. Hidup itu pilihan, kita harus bisa memilih yang lebih penting.

Mencatat untuk menjadi pengingat diri sendiri. Kita tidak mungkin menyenangkan semua orang. Namun jika kita menyenangkan orangtua, in sya Allah berpahala.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeSembilanbelas

Selasa, 13 Juni 2017

Kekuatan Istighfar

Aku pernah mendengar kisah dari Ustadz Kholid tentang Imam Ahmad. Beliau melakukan perjalanan hingga malam. Saat akan istirahat di masjid diusir oleh marbotnya. Sampai beliau diajak untuk menumpang pada sebuah rumah. Penghuninya seorang pembuat roti. Imam Ahmad memperhatikan aktivitas pembuat roti itu, dia hanya sesekali berbicara jika Sang Imam bertanya, selebihnya ia sibuk membuat roti sambil beristighfar.

Penasaran dengan dzikir tuan rumah, sang imam menanyakan manfaat apa yang diperoleh dengan dzikir itu. Pembuat roti menjawab bahwa ia telah lama mengamalkan hal itu. Hampir semua doanya terkabul, kecuali keinginannya bertemu imam Ahmad.

Sang Imam pun tersentak kaget sambil berkata bahwa dialah Imam Ahmad. Doa pembuat roti lah yang mengantarkannya datang ke rumahnya. Istighfarnya membuat doa-doanya terkabul.

Menuju sepertiga terakhir Ramadhan, aku mengingat kembali kisah itu untuk ikut mengamalkannya.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDelapanbelas

Senin, 12 Juni 2017

Ridho Orangtua Ridho Allah

Duluuu...sering mendengar istilah itu, ridho Allah tergantung ridho orangtua. Saat aku masih anak-anak kata-kata itu sangat kuperhatikan agar selalu taat pada orangtua. Tak terlalu kupikirkan, toh aku dan orangtua tak ada perbedaan pendapat yang membuatku harus "melawan" mereka.

Tapi ketika aku telah menjadi orangtua, lain lagi ceritanya. Jika menghadapi anak saat mereka terasa susah diarahkan, emosi sudah memuncak, kadang jadi hilang kesabaran. Pernah lisan ini mengucapkan label "susah dibilangi" pada anak sendiri, astaghfirullaah...

Padahal ternyata, menurut Bu Septi dalam sebuah tulisan yang kubaca beliau menunjukkan sebuah lingkaran :
Anak nakal - orangtua marah - Allah tak ridho - keluarga tak berkah -  tak bahagia - anak makin nakal.

Anak baik - orangtua ridho - Allah ridho - keluarga berkah - bahagia - anak makin baik.

Ma sya Allah...dan untuk membuat Allah ridho ini kuncinya pada orangtua. Kita harus ridho dan menerima anak. Maafkan kesalahannya, rangkul dan ajak bicara maka hal itu lebih baik. Keridhoan kita, orangtua nya akan membuat Allah ridho dan menciptakan keluarga yang berkah dan bahagia, in sya Allah anak akan menjadi baik.

Alhamdulillaah, bisa dapat pencerahan dari Bu Septi. Belajar terus menjadi orangtua...

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeTujuhbelas

Buku yang Menginspirasiku

Membaca buku sudah menjadi kegemaranku sejak kecil. Tak ada buku khusus yang kubaca. Buku pelajaran, buku cerita dan majalah-majalah kusukai semua.

Setelah dewasa dan mempunyai anak, makin beragam buku yang kubaca, dari novel, materi parenting hingga panduan menulis.

Beberapa buku yang sangat kusukai, diantaranya adalah :

1. Hafalan Sholat Delisa (Tere Liye)
Novel tentang tsunami Aceh ini sangat kusukai. Meski berkali-kali membacanya tetap saja membuatku meneteskan air mata. Kisahnya membuatku tergambarkan peristiwa tsunami dan berhasil mengajakku seperti menyaksikan musibah itu.

2. Persembahan Cinta (Pipiet Senja, dkk)
Buku ini merupakan curahan cinta suami istri. Dari buku ini saya belajar tentang berbagai kisah rumah tangga para penulisnya. Melihat cerita dari sudut pandang laki-laki dan perempuan yang ternyata berbeda dan seru.

3. 101 Dosa Penulis Pemula (Isa Alamsyah)
Buku ini merupakan salah satu rujukanku belajar menulis cerpen. Buku karya suami Asma Nadia ini memberikan rambu-rambu menulis dengan benar untuk para pemula.

4. Jibaku Post Power Syndrome Full Time Mom (Hepi R dkk)
Buku antologi dari sembilan penulis ini menginspirasiku tentang perubahan rasa dan kegiatan karena perubahan profesi dari wanita yang sebelumnya bekerja di ranah public kemudian berganti menjadi ibu rumah tangga. 

5. Ilmu Memeluk Anak (Kisah Pengalaman Pengasuhan yang Terinspirasi dari Elly Risman)
Sejak mengenal bu Elly Risman lewat beberapa materi parenting yang disampaikannya, aku mulai tertarik mencari bukunya. Buku ini memberikan beberapa kisah orang tua yang tercerahkan setelah belajar dari Elly Risman.

6. 5 Guru Kecilku (Kiki Barkiah)
Buku ini enak dibaca. Kiki Barkiah, seorang ibu dari lima anaknya yang homeshooling menuturkan kisah-kisah pengasuhan anaknya dengan bahasa sehari-hari. Tak menggurui, namun sangat mengena di hati.

7. Bunda Sayang (Seri Ibu Profesional #1)
Buku dari teman-teman di Institut Ibu Profesional ini merupakan panduanku dalam menemani anak-anak bermain dan belajar. Selain berisi materi pengasuhan anak, buku ini juga dilengkapi kisah dari ibu-ibu keren yang berhasil mempraktikkan materi yang telah dipelajarinya.

8. Sakinah Bersamama (Asma Nadia)
Buku kumpulan cerpen ini dilengkapi dengan pembahasan mengenai kasus yang ada dalam kisahnya. Asma Nadia mengajak pembaca untuk belajar mengambil hikmah dari setiap kisahnya.

9. 28 Hafidz Cilik (Kisah Anak Kecil, Cacat yang Hafal Al Quran)
Buku ini berhasil membuat saya malu dan termotivasi untuk menghafal Quran. Menceritakan kisah anak-anak kecil dari berbagai negara yang berhasil hafal Quran meski diantaranya mempunyai keterbatasan.

Orang sering mengatakan buku merupakan jendela dunia, jembatan ilmu…semuanya memang benar. Dari buku-buku itu aku belajar banyak hal hingga memotivasiku ingin makin belajar lagi. Karena ternyata, semakin banyak membaca, semakin membuatku sadar bahwa aku masih butuh ilmu lebih banyak lagi…

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeEnambelas

Sabtu, 10 Juni 2017

Celoteh Anak

Menyimak pertanyaan anak-anak sungguh membuatku berpikir keras. Berbagai pertanyaan sederhana namun susah menjawabnya.

Pernah bungsuku (4yo) kami ajak ke makam ayahku. Kami ingin menunjukkan bahwa kakeknya telah meninggal. Karena selama ini ia menanyakan di mana ayahku. Ketika sampai di makam, ia menanyakan di mana kakek, setelah dijawab beliau dikubur di bawah tanah, ia sedih. Menurutnya kasian kakek sendirian di bawah tanah.

Belum selesai disitu, ia juga menanyakan mengapa bisa meninggal. Aku harus mencari jawaban sederhana namun bisa memuaskannya. Hal ini yang sulit.

Suatu saat ia menanyakan lokasi pada fotoku yang dilihatnya. Kujawab, di Hongkong, saat tugas kantor waktu itu. Ia protes kenapa tak mengajaknya serta. Aku menjelaskan bahwa saat itu dia belum lahir. Tiba-tiba ia teriak, "Berarti aku ikut, kan masih di dalam perut Ibu".

Mendengar celoteh-celotehnya yang lucu, kadang membuat kening berkerut, namun aku mensyukurinya. Itu menunjukkan bahwa ia kritis, rasa ingin tahunya tinggi dan ia berani mengungkapkannya. Dari celotehnya pula aku belajar banyak hal. Belajar bagaimana menjawabnya, belajar lebih dalam tentang tema yang ditanyakan, belajar mencari sumbernya. Dan semuanya itu membuat kami berusaha mendekatkan diri pada-Nya, alhamdulillaah...

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeLimabelas

Oleh-oleh Kulwap IIP Batam

Puasa dan Kesehatan Anak

Pada hari Rabu kemarin saya sempat bergabung dengan Kulwap IIP Batam yang membahas tentang Puasa dan Kesehatan Anak dengan nara sumber Novita Pusparini.

Berikut beberapa hal yang saya catat :

Anak-anak belum diwajibkan berpuasa, namun kita perlu mengenalkan puasa dan mengajarkannya. Berkaitan dengan kebutuhan nutrisinya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :

1. Saat Sahur
Berikan cukup serat, protein dan cairan. Jangan hanya mengejar banyak karbohidrat dari nasi saja, ingat juga kebutuhan protein untuk pertumbuhannya. Cairan juga harus cukup, selain dari air minum, cairan bisa diperoleh dari sayur berkuah maupun buah-buahan.

2. Saat Puasa
Selama berpuasa anak-anak tetap boleh beraktivitas, namun perlu diingatkan agar tidak mengganggu puasanya. Orangtua juga perlu mengawasi kondisi anak-anak selama berpuasa, misal terjadi tanda-tanda dehidrasi, segera ambil tindakan.

3. Saat Berbuka
Pada saat berbuka jangan minum air manis terlalu banyak. Selain bisa menyebabkan obesitas, mengantuk, air minum manis membuat rasa ingin minum terus sehingga bisa mengurangi asupan makanan. Juga tidak disarankan minum air dingin karena dapat mengganggu penyerapan makanan.

Pengenalan puasa ini bisa dilakukan secara bertahap. Bisa dimulai dengan puasa setengah hari atau sesuai kesiapan anak-anak dengan tetap memperhatikan kondisi masing-masing anak.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeEmpatbelas

Kamis, 08 Juni 2017

Kebaikan Anak

Hari Sabtu ini waktunya pembagian rapot anak-anak. Tak terasa mereka sudah besar, sudah sekolah. Teringat saat pertama kali mendaftarkan si sulung masuk SD. Ada interview orangtua oleh pihak sekolah tentang anaknya. Kini ia sudah kelas dua SD dan si bungsu TK.

Ada satu pertanyaan yang susah kujawab waktu itu. Apakah kelebihan anak Anda? Ya Allah, sungguh aku bingung menjawabnya waktu itu. Kelihatan banget aku belum mengenal betul anakku sendiri.

Tak lama setelah itu aku mulai mengikuti pelatihan parenting. Di situ aku belajar untuk lebih membersamai anak-anak, mengamati keseharian mereka dan bermain serta hadir untuk mereka.

Ternyata, setelah menemani mereka, kebaikan anak-anak sangat banyak, bahkan jika harus kutulis takkan selesai. Tak perlu muluk-muluk mencari kelebihan yang spektakuler. Bahkan beberapa hal kecil yang biasa mereka kerjakan pun bisa membuatku meleleh, diantaranya :

1. Makan dan minum dengan tangan kanan
2. Makan dan minum sambil duduk
3. Mengingatkan orang yang dikenalnya, jika mereka makan dan minum dengan tangan kiri
4. Mengingatkan orang yang dikenalnya untuk makan dan minum sambil duduk, jika dilihatnya ada yang makan dan minum sambil berdiri
5. Membuang sampah pada tempatnya
6. Mematikan lampu, kipas, jika tidak digunakan
7. Menyisihkan uang pemberian nenek dan saudara saat lebaran untuk berinfak
8. Membagi makanan dan minuman yang diperolehnya pada anggota keluarga yang lain tanpa diminta sebelumnya
9. Mengucapkan terima kasih setelah diberi atau menerima sesuatu atau bantuan
10. Membersihkan sisa makanan atau minuman yang tumpah tanpa disuruh

Aaahh..betapa anak usia tujuh dan empat tahun ini mengajarkanku banyak hal. Berbagai kebaikan-kebaikan sehari-hari, namun justru sering terabaikan. Maafkan Ibu ya Nak...sering melupakan kebaikanmu. Terima kasih telah sabar belajar bersama menjadi lebih baik...Menuliskan kisah ini sebagai pengingat bagiku untuk terus belajar dan membersamai anak-anak untuk tumbuh bersama menjadi lebih baik, in sya Allah.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeTigabelas

Rabu, 07 Juni 2017

Belajar dari Keberanian Anak

Menyaksikan acara Akhirussanah sekolah anak-anak membuat saya takjub. Betapa mereka telah berani tampil di depan banyak orang. Walau kadang ada sdikit kesalahan yang mereka lakukan, namun tetap tenang dan melanjutkan tugasnya. The show must go on.

Saya jadi berkaca pada diri sendiri? Beranikah saya kini, sebagai orang tua jika diminta tampil di panggung yang sama? Apalagi jika ada yang keliru, mampukah saya tetap melanjutkan penampilan dengan tenang? Dan bukan malu, lalu lari keluar panggung, atau bahkan tak mau tampil lagi?

Anak-anak mengajarkan pada saya untuk berani. Setidaknya untuk menyampaikan pendapat. Saya jadi ingat beberapa kali saya "dipaksa" tampil oleh anak saya di suatu acara yang kami datangi. Jika MC menawarkan siapa yang berani maju, untuk suatu pertanyaan, anak saya selalu meminta untuk ikut berpartisipasi. Padahal saya termasuk orang yang malu dan malas untuk tampil. Dengan menarik tangan saya, anak-anak mengajak untuk maju. Jika saya menolak mereka ribut bertanya kenapa saya tak mau. Saya terpaksa menuruti mereka, saat itu.

Tapi sejak saat itu saya belajar, bahwa kenapa harus takut, kenapa harus malu dengan jawaban kita sendiri. Apa yang saya takutkan? Salah? Padahal salah pun tak membuat kita mati. Justru dari salah itu kita jadi tahu bagaimana yang benar.

Alhamdulillaah anak-anak memaksa saya untuk berani. Hingga kini saya lebih punya semangat untuk berani salah. Seperti halnya dengan menulis. Berani berlatih dan siap menerima masukan untuk menjadi lebih baik.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDuabelas

Senin, 05 Juni 2017

Sepertiga Pertama Ramadhan

Sepuluh hari telah berlalu
Bagaimana puasaku
Berapa amalanku

Biasanya awal itu penuh semangat
Biarpun hujan tarawih tetap berangkat
Sahur pun bangun meski mata berat

Memasuki hari kesebelas
Mari kita kerja keras
Agar amalan tak bablas

Perbaiki kembali niat
Ramadhan untuk naikkan derajat
Mari lomba berbuat manfaat
Karena itulah sebaik baik umat

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeSebelas

Kisah Puasa Si Sulung

Si sulung bulan Juli nanti genap delapan tahun. Sudah beberapa hal tentang kemandirian kami sampaikan. Bahwa dia makin besar, akan ada banyak hal baru dan seru yang dipelajari.

Menjelang Ramadhan kami sudah mengulang kembali tentang puasa, tarawih, sahur dan kegiatan selama puasa. Tapi kami tak menargetkan agar dia puasa penuh. Tahun kemarin dia puasa setengah hari. Biarlah dia menikmati prosesnya, pikir kami dia mampu sampai Ashar.

Sehari sebelum awal Ramadhan kami masih dalam perjalanan. Tapi tak disangka, dia tetap antusias menyambut Ramadhan. Di hotel kami membahas tata cara sholat tarawih dan mempersiapkan untuk bangun sahur. Alhamdulillaah, tarawih dan sahur lancar.

Hari pertama puasa kami silaturahmi di kampung halaman saya. Siangnya lanjut perjalanan pulang ke Bekasi. Ma sya Allah ternyata Si Sulung bisa puasa sampai Maghrib.

Hari-hari selanjutnya masih bisa bertahan. Bangun sahur pun yang tahun kemarin masih susah sekarang lebih mudah. Hingga hari kesepuluh kemarin Si Sulung masih penuh semangat.

Saya dan suami mengingat masa kecil kami dahulu. Di usia yang sama dengan Si Sulung kini, saya dulu belum bisa puasa penuh. Ternyata begitu juga dengan suami.

Alhamdulillaah, Ramadhan kali ini memberikan cerita istimewa bagi kami. Kami menemani Si Sulung belajar puasa. Kami siapkan berbagai permainan dan kegiatan untuk mengisi waktu selama puasa. Semoga kami istiqomah...

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeSepuluh

Minggu, 04 Juni 2017

Jodoh dan Kepasrahan

Beberapa hari lalu saya dan suami duduk berdua. Kami mengenang pertemuan pertama dulu. Saat mengenalnya bahkan saya belum pernah melihat wajahnya. Saya hanya mengenalnya lewat media sosial.

Saya, yang tengah berduka atas meninggalnya bapak kala itu, bersedia menerima lamarannya yang diajukan tiga bulan setelah perkenalan. Sebulan kemudian kami menikah. Ahamdulillaah semuanya dimudahkan dan lancar.

Namun peristiwa yang terjadi sebelumnya sungguh tak kan saya lupakan. Saya pernah begitu yakin akan menikah dengan seseorang (bukan orang yang kini menjadi suami saya). Saya selalu berdoa agar Allah menjodohkan kami. Saya sampai berkali-kali menolak orang lain yang mengajak menikah karena saya berharap menikah dengannya. Padahal ada beberapa hambatan juga pada hubungan kami. Mungkin itulah yang dinamakan cinta buta.

Saya seperti ditegur Allah saat bapak meninggal. Beliau yang sangat menyayangi saya pun tak bisa ditahan jika Allah memanggilnya. Saya tertegun. Tak kurang usaha yang kami lakukan untuk mengobati bapak, tapi Allah berkehendak lain. Jadi saya ini bisa apa?

Sejak saat itu saya belajar agar tidak memaksakan kehendak saya pada doa yang dipanjatkan. Tetap Allah lah sebaik pembuat keputusan. Saya tak lagi merengek minta dia seorang yang menjadi jodoh saya, tapi saya meminta jodoh yang terbaik bagi saya. Dan itu lebih melegakan.

Alhamdulillaah, jodoh itu datang dengan cara-Nya. Seseorang berhati lembut yang kini telah menjadi imam saya selama hampir sembilan tahun. Jodoh pilihan Allah, yang terbaik bagi saya.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeSembilan

Sabtu, 03 Juni 2017

Mengingat Kematian

Tetiba ingat bapak. Tak terasa telah sembilan tahun beliau pergi menghadap-Nya. Banyak kenangan semasa masih hidup maupun saat menjelang waktu berpulangnya. Semua masih tersimpan rapi di benakku.

Meski sedih, kini bukan lagi waktunya untuk menangis. Lebih baik mendoakannya. Akan lebih utama jika aku, sebagai anaknya terus memperbaiki diri agar menjadi anak sholihah, yang bisa mengalirkan pahalanya untuk bapak tercinta.

Berbicara tentang kematian, aku membaca dari buku Al Ghazali bahwa Rasulullah pernah menyampaikan "Orang yang paling banyak mengingat maut dan paling keras dalam mempersiapkan kepadanya. Mereka itulah orang-orang yang cerdas. Mereka pergi dengan penuh kehormatan di dunia dan kemuliaan di akhiratnya".

Ketika kita mengingat mati maka kita jadi melakukan persiapan untuk menghadapinya. Hati akan terasa lebih lembut. Dunia ini akan terasa bukan tujuan, dan memang akhirat lah tempat kita kelak.

Semoga kita menjadi orang cerdas, yang selalu mengingat mati dan mempersiapkannya.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDelapan

Jumat, 02 Juni 2017

Berbagi Resep

Hari ini anakku yang kecil demam. Kuperhatikan nggak pilek, nggak batuk seperti biasanya. Dia mengeluhkan pipi bagian dalamnya sakit, kanan dan kiri. Sempat khawatir kena gondongan, tapi kok kanan dan kiri sekaligus?

Simpulan sementara adalah karena giginya mau tumbuh. Semoga saja benar dan nggak ada hal yang serius. Nah, karena dia lagi demam, aku membuat menu yang berkuah. Setelah browsing sana sini, nemu juga resep yang pas dengan stok yang ada di kulkas....Soto ayam.

Entah ini soto khas daerah mana, yang jelas soto ayam kuning tanpa santan. Aku gabung saja resep yang kubaca, ada yang pakai ketumbar ada yang pakai kemiri. Aku pakai semuanya.

Inilah resep soto ayam kuah kuning tanpa santan ala Bunda Arfa :-)

Bahan :
- ayam setengah kept
- tomat
- bihun
Bumbu :
- bawang merah
- bawang putih
- kemiri
- ketumbar
- merica
- kunyit
- jahe
Semua bumbu di atas dihaluskan
- daun salam
- daun jeruk
- lengkuas
- sereh
- gula dan garam

Cara membuat:
1. Rebus ayam. Setelah matang suwir-suwir dagingnya
2. Rebus bihun, lalu tiriskan.
3. Tumis bumbu halus, masukkan bumbu pelengkap, dtunggu hingga harum.
4. Lalu masukkan ayam suwir, tambahkan air, gula garam dan tes rasa.
5. Sajikan dalam mangkok, tata bihun, tomat diiris lalu siram dengan soto.

Alhamdulillaah, si kecil yang demam mau makan menu berkuah ini. Si kakak yang sudah puasa penuh pun berbuka nikmat dengan soto. Meski ibunya nggak pintar masak, tapi lihat anak makan lahap cukuplah menjadi penyemangat untuk rajin memasak :-)

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeTujuh

Kamis, 01 Juni 2017

Puasa Itu...

Bismillaah, belajar mengikat ilmu dengan menuliskannya.

Pekan kemarin sewaktu di hotel saya melihat tayangan dari sebuah TV, kajian Islam tentang puasa. Karena sambil beres-beres dan mengurus anak-anak saya kurang memperhatikan TV apa dan siapa yang berbicara. Namun yang sempat terdengar dan membuat saya tersindir adalah ketika sang ustad menyampaikan hikmah puasa adalah agar kita bisa merasakan penderitaan kaum dhuafa. Bagaimana mereka menahan lapar karena tak punya makanan. Jika dalam puasa kita malah banyak pengeluaran tambahan, misal, biasanya kita nggak jajan kolak, pas puasa malah ada kolak, ada manisan, itu berarti banyak biaya tambahan.

Saya manggut-manggut mendengarnya. Benar juga ya...Hal itu saya catat dan saya coba praktekkan. Siapkan makanan untuk berbuka dan sahur secukupnya. Tak perlu berlebihan, mentang-mentang puasa jadi ingin dibeli semua. Padahal akhirnya nggak habis dan mubazir.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeEnam

Rabu, 31 Mei 2017

Kelemahanku dan Cara Mengatasinya

Kelemahan dan Cara Mengatasinya

Sejak kecil aku takut ketinggian. Aku masih ingat aku tak berani naik permainan jungkat jungkit. Pernah sekali naik bersama ibuku, pas posisi di atas rasanya takut banget. Aku sudah teriak minta turun sambil menangis. Main ayunan juga sama, deg degan. Entah lah, mungkin memang sudah bawaan sejak lahir.

Repotnya ketika melewati jembatan penyeberangan yang berada di atas. Aduuuh…itu rasanya lutut seperti tak bertulang, lemas. Kalau masih bisa menyeberang lewat bawah aku pilih itu saja. Suatu ketika tak ada pilihan lain,  aku harus lewat jembatan penyeberangan. Dengan segala kekuatan aku mencoba naik. Sampai tengah jembatan mataku melihat mobil yang berlalu lalang di bawah, seeeer hati langsung ciut. Kakiku tak mau kuajak melangkah. Aku bingung, untuk turun pilihannya maju atau mundur. Tapi keduanya sama-sama melintasi jembatan ini. Akhirnya aku maju sambil jongkok karena takutnya.

Sadar akan kelemahan ini, aku tak diam diri. Aku berusaha melawannya, yah..paling tidak bisa mengurangi supaya nggak parah banget. Beberapa hal yang kulakukan untuk mengatasi rasa takutku adalah :

1. Berlatih naik tangga sedikit demi sedikit
Ada pepatah mengatakan alah bisa karena biasa. Jadi aku harus membiasakan diri naik ke tempat yang tinggi. Tentu saja bertahap. Maka aku menaiki tangga pelan-pelan, sedikit demi sedikit. Jika sudah terbiasa naik sampai anak tangga kelima dan rasanya tak gemetar, aku melanjutkannya lagi hingga lebih tinggi.

2. Mencoba rileks dan membayangkan hal-hal menyenangkan saat berada di atas
Aku sadar ketakutanku karena membayangkan berbagai hal yang bersifat negative sehingga membuatku gentar sebelum melangkah naik. Aku harus bisa menanamkan pikiran positif agar membuatku semangat naik ke atas. Dengan membayangkan hal-hal yang menyenangkan membantuku bersemangat naik ke atas.

3. Mengunjungi tempat wisata pegunungan atau perbukitan
Jika ada kesempatan berlibur aku lebih memilih lokasi yang berbukit. Biasanya tempat wisata seperti itu jalanannya menanjak tapi sudah dibentuk teratur. Beberapa diantaranya sudah ditata rapi dengan batu-batu maupun paving block, sehingga memudahkan pengunjung untuk menikmati pemandangannya. Banyaknya pengunjung juga membuatku lebih semangat untuk menuju puncak.

4. Berdoa agar selalu dilindungi dan dalam kondisi aman
Tak diragukan lagi, bahwa kekuatan doa sangatlah besar. Dengan memohon pada Allah, pikiran akan menjadi lebih tenang sehingga bisa mengurangi kekhawatiran yang muncul.

Kini aku tak setakut jaman dulu. Aku telah berani naik escalator, jembatan penyeberangan tanpa jongkok tentu saja. Meski belum hilang, namun setidaknya sudah berkurang. Sahabat punya pengalaman yang sama?

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeLima

 

Selasa, 30 Mei 2017

Lima Negara yang Ingin Kujelajahi

Lima Negara yang Ingin Kujelajahi

Jika membaca buku tentang kota – kota di luar negeri, aku selalu membayangkan aku berada di sana. Boleh lah menuliskannya dulu beberapa tempat yang ingin kukunjungi di dunia ini. Berharap suatu saat akan terwujud aku bisa keliling dunia.

Inilah negara-negara di dunia yang ingin kukunjungi :

1. Arab Saudi
Sebagai muslim aku ingin berkunjung ke sana, untuk melaksanakan haji dan umroh. Selain itu di sana banyak tempat bersejarah jejak nabi Muhammad mendakwahkan Islam semasa hidupnya. Tentu menjadi impian bisa menyaksikan Ka’bah, Masjid Nabawi, dan berbagai lokasi lain.

2. Mesir
Sejak membaca novel karya HabiburrahmanEl Shirazy, aku sudah terpesona dengan keindahan negeri seribu menara ini. Ditambah peninggalan Firaun dan Sungai Nil nya yang telah terkenal sejak dulu. Menyaksikan piramida dari dekat tentulah lebih mengesankan daripada yang kulihat di televisi selama ini. Yang tak kalah seru adalah Universitas Al Azhar yang telah melahirkan banyak ulama terkenal di negeri ini.

2. Spanyol
Tempat lain yang ingin kukunjungi adalah Spanyol. Pergi ke sana aku ingin mengunjungi Andalusia. Menikmati kota tua Cordoba juga merupakan impianku. Dengan sejarah literasi dan perpustakaan serta melahirkan nama-nama ilmuwan besar tentulah tempat ini memikat hatiku. Tempat ini pula saksi salah satu kejayaan Islam dalam masa pemerintahan Dinasti Umayyah pada abad ke-8 hingga ke-11 M.

4. Italia
Aku juga pernah membaca kisah orang yang berkunjung ke Italia. Ada beberapa hal yang ia sampaikan dan menarik perhatianku. Salah satunya adalah Napoli. Di sana kita bisa mengunjungi Museum Arkeologi Nasional, konon merupakan museum arkeologi terlengkap di Eropa. Aku juga ingin mencicipi kuliner khas Italia yaitu pizza. Mau tahu pizza asli Italia seperti apakah rasanya?

5. Finlandia
Aku sering mendengar bahwa system pendidikan di Finlandia adalah yang terbaik. Aku pun ingin sekali berkunjung ke sana. Aku ingin mempelajari dan mengadopsi system yang baik itu guna kuterapkan pada anak-anakku. Jika kelak aku bisa mempunyai lembaga pendidikan, aku bisa menerapkan kebaikannya untuk ikut membangun bangsa. Aku ingin turut mencerdaskan bangsa dengan membentuk generasi berkarakter mulia.

Itulah lima negara yang ingin kukunjungi jika aku mempunyai kesempatan berkeliling dunia. Aku akan menjelajahi dan menuliskannya agar dapat menjadi kenangan dan semoga bisa menginspirasi orang tentang tempat-tempat tersebut. Semoga Tuhan mengabulkannya…

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeEmpat

Senin, 29 Mei 2017

Catatan Kecil dari Acara Hafiz Indonesia

Tadi siang menemani anak-anak menonton acara Hafiz Indonesia di salah satu televisi swasta. Acara yang menanpilkan anak-anak kecil penghafal Quran itu memang selalu kami ikuti di setiap Ramadhan. Anak-anak senang menyaksikan para Hafiz kecil itu melantunkan ayat suci dengan sempurna.

Melalui acara itu kami terinspirasi untuk menghafal AL Quran. Betapa saya malu pada anak usia 8 tahun yang sudah menghafal 30 juz. Sedikit demi sedikit kami mulai menghafalnya. Meski tertatih dan baru beberapa surat yang kami hafal.

Pada acara tadi siang, ada salah satu peserta yang sudah hafal 30 juz, 500 hadist, bacaannya juga luar biasa, namun ada masukan dari Syeh Ali Jaber dan Ustad Abi Faisol yaitu tentang kepercayaan diri si anak. Menurut para juri, anak ini terlihat kurang percaya diri.

Ketika Irfan Hakim sebagai host menceritakan keseharian si anak, ternyata ia adalah seorang yatim. Ustad Abi Faisol langsung berdiri dan memeluk anak tersebut. Sang ustad mengatakan bahwa anak yatim memerlukan figur yang ia perlukan untuk dijadikan panutan. Ia merindukan ayahnya. Itulah sebabnya dalam Islam Allah memerintahkan kita untuk menyayangi dan menyantuni anak yatim.

Saya, yang menyaksikan dari rumah tak kuasa menahan air mata. Betapa sosok ayah sangat berpengaruh pada pembentukan karakter seorang anak. Saya pun merasakannya. Ketika ayah saya meninggal, ada sesuatu yang hilang dalam diri saya.  Mungkin bedanya, saat itu saya telah dewasa. Bagaimana dengan anak kecil yang sejak bayi tak berjumpa dengan ayahnya?

Belajar dari hal di atas, saya mencatat untuk lebih memperhatikan anak yatim. Moment Ramadhan mungkin pas untuk kita lebih menyayangi mereka. Terima kasih ustad telah mengingatkan...

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeTiga

Minggu, 28 Mei 2017

Terima Kasih Bu Septi...

Aku tak akan bosan membicarakan sosoknya. Tokoh inspiratif bagi banyak wanita di Indonesia. Telah banyak penghargaan tingkat nasional yang beliau peroleh. Namun tetap ramah dan bersedia berbagi pada siapa saja.

Ibu Septi Peni Wulandani, founder Institut Ibu Profesional (IIP). Seorang ibu dari tiga orang anak, yang mendidik sendiri anak-anaknya namun berhasil hingga mempunyai karya. Beliau lulusan FKM, yang rela melepas SK PNS nya demi menjadi full time mom. Berbekal keyakinan dan doa dari orang tuanya ia mantap menikah dengan Pak Dodik, yang memang meminta agar anak-anaknya dididik oleh ibunya sendiri secara langsung.

Berbagai pengalaman seru ia jalani dalam membersamai anak-anaknya yang memilih belajar homeschooling dengan ibunya. Konsep-konsep menemukan cara menjadi ibu profesional ia catat dan kini ia bagikan pada kami dalam kurikulum di IIP.

Aku lupa awalnya membaca tentang Septi Peni dan IIP nya di mana. Namun aku langsung tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. Hingga pada suatu hari aku bisa mengikuti acara parenting dengan nara sumber Bu Septi di Bekasi, tempat tinggalku. Mendengarkan kisah perjalanan hidupnya hingga beliau berpikir untuk mendirikan IIP membuatku makin terpana. Inilah sesuatu yang aku cari dari dulu. Ibu rumah tangga yang berkualitas. Saat itu juga aku bergabung dalam komunitas IIP.

Masuk menjadi bagian dari IIP membuatku makin takjub. Ternyata banyak ilmu yang belum aku pelajari untuk menjadi seorang ibu profesional. Padahal dengan ilmu-ilmu tersebut hidup kita jadi lebih berarti. Sedikit demi sedikit aku mempelajarinya. Makin belajar makin wow, aku makin tertarik untuk lebih dalam lagi untuk belajar dan mempraktekannya. Dan ini membuatku senang. Kulakukan dengan riang pula.

Setelah bergabung di IIP aku tak hanya menjadi ibu rumah tangga yang berkutat dengan urusan domestik saja. Namun aku bisa membagi waktu untuk suamiku, anak-anakku, juga untuk diriku sendiri. Aku malah bisa menemukan passionku yang sebenarnya. Dan aku bisa mengalokasikan waktu untuk menyalurkan hobiku, menulis. Aku bisa lebih berkarya setelah mempelajari materi IIP.

Aku yang sempat galau pasca resign dan berubah profesi menjadi Ibu Rumah Tangga seperti mendapat segar setelah mengenal sosok Bu Septi. Meski keputusan resign aku pilih sendiri dan kuambil secara sadar namun karena kurangnya ilmu, tak kujalani dengan bahagia. Namun hal berbeda kurasakan setelah aku mendapat sharing dari Bu Septi.

Bagiku, beliau tak hanya sekedar tokoh yang kukagumi. Darinya aku banyak belajar menjadi ibu rumah tangga yang profesional. Bahwa mendidik anak dan berkarya bukanlah sesuatu yang bisa saling menghalangi. Justru bisa dijalankan dengan saling mendukung. Misalnya, dengan menuliskan berbagai kegiatan anak dan mempublikasikan pada orang banyak, bisa memberikan inspirasi cara pengasuhan anak. Tetap bisa berkarya tanpa harus meninggalkan anak-anaknya. Terima kasih Bu Septi, salam hormat dari saya…teruslah menginspirasi banyak wanita…

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDua

Sabtu, 27 Mei 2017

Pawai Obor di Sikunir, Dieng

Pawai Obor di Sikunir, Dieng

Hari Kamis kemarin kami mengunjungi Dieng. Tujuan kami adalah melihat sunrise di puncak Sikunir. Menempuh perjalanan dari Bekasi lewat tol Cipali kami transit dulu di Pekalongan. Rencananya kami mau menempuh rute Barang - Bandar - Batur. Namun setelah mendapat informasi jalan Bandar - Batur lebih sempit dan terjal kami memutuskan lewat jalur Kajen - Kalibening - Batur.

Setelah melewati jalan berkelok-kelok dan menikmati pemandangan yang indah, sampailah kami di Batur. Hawa dingin sudah mulai terasa. Makin naik menuju Dieng makin dingin. Kostum kami sudah lengkap dengan jaket, sarung tangan dan kaos kaki.

Ternyata menuju Sikunir udara tambah dingin. Meski dengan jaket, kami tetap merasa kedinginan. Maghrib kami telah mendapat homestay di dekat Danau Cebong, tak jauh dari puncak Sikunir. Kami istirahat sebentar di homestay.

Selepas isya terdengar pengumuman dari masjid jika akan dilaksanakan pawai obor menyambut Ramadhan. Panitia menghimbau agar warga segera berkumpul. Kami tertarik untuk menyaksikannya. Sekalian keluar untuk makan malam.

Dan waktu kami keluar dari homestay, ma sya Allah...hembusan angin terasa masuk menembus jaket. Tapi suara riuh anak-anak kecil yang menyalakan obor sambil bernasyid sungguh membuat kami tetap bertahan. Sambil menunggu makanan siap kami duduk di teras warung makan memperhatikan warga setempat. Saya melihat keakraban yang terjalin diantara mereka. Ibu-ibu sambil berselimut bercengkerama dengan diselingi tawa. Bapak-bapak menggendong anak kecilnya di belakang tanpa canggung. Mereka semua berbaur, tak ada yang sibuk dengan hand phone. Mereka berinteraksi secara nyata. Sungguh saya merindukan suasana seperti itu. Hal yang sudah sangat jarang saya temui di Bekasi.

Keramahan masyarakatnya masih terasa. Ketika melihat anak saya, seorang bapak menawarkan obornya. Tentu saja anak saya sangat senang. Kami ikut hanyut dalam kegembiraan mereka.

Mengawali Ramadhan kali ini, saya belajar tentang kebahagiaan. Sungguh mudah merasakan bahagia jika kita menikmatinya. Menyambut Ramadhan dengan pawai obor bersama tetangga dan kerabat mungkin menjadi salah satu cara warga Sikunir menikmati kebahagiaan. Sederhana namun begitu dalam maknanya. Ketulusan mereka bisa saya rasakan.

Aaahh...saya jadi rindu suasana penuh keakraban, ketulusan, keramahan yang nyata. Diri kita benar-benar hadir bukan hanya ada namun sebenarnya kita sibuk dengan handphone di genggaman.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara

Jumat, 19 Mei 2017

Melangkahlah, Pasti Ada Jalan

Melangkahlah, Pasti Ada Jalan

Dalam hidup, aku bersyukur Allah selalu memberiku peringatan agar tetap berjalan on track. Jika hidup dalam kondisi lancar aku tidak terlalu memperhatikan berbagai hikmah-Nya. Namun jika dalam keadaan jatuh datangnya petunjuk akan sangat membantuku bangkit.

Pada awal kuliah dulu, aku tidak sungguh-sungguh menjalaninya. Aku diterima pada jurusan Keselamatan Kerja, merupakan pilihan keduaku dalam UMPTN. Padahal hatiku sangat ingin diterima pada jurusan Farmasi sebagai pilihan pertama. Akibatnya, aku menjalani kuliah dengan setengah hati. Antara ingin keluar dan mengulang UMPTN tahun depan, namun di sisi lain ingin membuktikan juga bahwa aku mampu mengikuti kuliah meski tak menyukainya.

Semester satu aku masih bisa mengikuti mata kuliah dasar. Beberapa diantaranya mirip dengan mata pelajaran  SMA. Namun semester dua, ketika materi kuliah mulai lebih menjurus aku mulai ketinggalan. Sering mengulang untuk materi praktikum dan remidi beberapa mata kuliah. Puncaknya, nilai D mewarnai daftar IPku pada semester dua. Sungguh mengecewakan. Aku merasa gagal.

Kuceritakan masalahku pada orangtua. Mereka memberiku saran agar tetap kuliah pada jurusan yang sekarang. Sayang juga biaya yang sudah dikeluarkan selama setahun. Pun belum tentu aku bisa lolos UMPTN lagi.

Aku kembali ke kampus dengan hati kacau. Saat mengurus pengajuan SKS semester tiga tak sengaja aku membaca mading yang terpampang di depan loket daftar ulang. Aku lupa kisah apa yang tertera di situ, hanya ada kutipan yang menarik perhatianku.
“Karena sesunggguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS Al Insyiroh : 5-6)
Allah selalu punya cara untuk menyadarkan hamba- Nya. Kurenungi kutipan ayat suci itu berhari-hari. Satu kalimat penyemangat yang diulang dua kali dalam satu surat. Aku mencoba berpikir positif, mungkin sekarang waktunya bangkit dan menata kembali kuliahku. Pasti ada jalan keluar untuk setiap masalah.

Kujalani tahun-tahun berikutnya dengan lebih semangat. Ternyata aku bisa juga mengikuti perkuliahan dengan lancar. Nilaiku cukup memuaskan, hampir semua A dan B. Aku pun lulus dengan IPK mendekati angka tiga. Terbayar kegagalan tahun pertama.

Hari berganti dan aku telah menyelesaikan kuliah. Dalam setiap langkah aku masih mengingat kutipan favorit. Jika bertemu masalah, kuyakinkan diri sendiri bahwa pasti ada kemudahan untuk bisa menghadapinya. Aku bersemangat dalam mencari pekerjaan hingga aku diterima di sebuah perusahaan swasta sebagai Koordinator Keselamatan Kerja.

Satu hal yang membuatku hampir menyerah adalah urusan jodoh. Di usiaku menjelang 30 aku masih melajang. Beberapa kali berteman dekat namun belum sampai ke pelaminan. Kuhabiskan waktu luangku untuk membaca. Saat hari libur aku main ke toko buku, di sana aku menemukan kalimat dari Asma Nadia “Selalu ada kemudahan, sekalipun saat dikelilingi kesulitan. Allah tidak memberimu jalan buntu”. Aku kembali disadarkan bahwa ada banyak jalan.

Aku kembali meneguhkan tekadku. Segala cara aku coba menjemput jodohku. Kubuka semua peluang. Minta dikenalkan teman, guru ngaji, menjadi anggota biro jodoh suatu komunitas hingga berkenalan lewat media online. Aku yakin, diantara sekian banyak usaha pasti akan ada yang membuahkan hasil. Dan benar, Allah mempertemukanku dengan lelaki yang kini menjadi suamiku.

Hingga kini, dua kutipan di atas masih aku cetak tebal dalam kamus hidupku. Teruslah melangkah dan berusaha, pasti ada jalan !

#30DayWritingChallenge
#Day2KutipanYangBerkesan

#BelajarMenulis
#Day4
#Odopfor99days