Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Dear Mas Eko Budhy Prasetya,
Setiap memasuki bulan Juli aku selalu berdebar. Mengingat bagaimana peristiwa penting itu terjadi. Pertama kalinya kita bersentuhan saat aku menyalamimu dengan takzim, usai janji itu kau ucapkan. Aaahhh…masih tak bisa menahan butiran air mengalir dari sudut mataku kala mengenangnya.
Jika banyak remaja yang berkirim surat sebelum resmi menjadi pasangan, maka surat ini kubuat dengan sepenuh rasa untukmu, setelah hampir sembilan tahun kita hidup bersama. Terlambatkah? Kukira tidak…Bukankah cinta selayaknya tetap harus dipelihara? Dan inilah bagian dari caraku untuk tetap menyayangimu, Cintaku…
Surat ini kumulai dengan mengingat pertemuan pertama kita. Kau, yang wajahnya belum pernah kulihat sebelumya datang bersama adikmu, menemuiku. Entahlah, waktu itu aku tak merasakan getaran apa pun. Namun jujur, niat telah kuluruskan untuk mendapat jodoh pilihan-Nya. Berlanjut pada beberapa kali perbincangan melalui telepon, diskusi tentang banyak hal, aku mulai merasa ada sesuatu yang menuntunku membuat catatan tentangmu. Aku, yang sering ngeyel tiba-tiba bisa menerima semua pendapat yang kau berikan. Tentu saja karena kau memaparkan alasan yang bisa dipertanggung jawabkan. Hal itulah yang membuatku berpikir engkaukah calon imamku?
Keputusanmu datang menemui ibu untuk melamarku pun cukup mengejutkan. Dan dengan ijin Allah semua berjalan mudah. Benar- benar tak kusangka. Keluargaku yang belum lama berduka atas meninggalnya bapak, menyiapkan pernikahan sederhana kita.
Tanggal 17 Juli pagi aku telah bersiap. Kukenakan kebaya putih dan bawahan rok batik lengkap dengan kerudung putih berbordir sederhana untuk menyambutmu datang. Hingga ketika akad nikah terlaksana, rasa haru, bahagia, sedih, grogi dan berbagai rasa lain campur aduk di dada. Jantungku berdebar kencang saat kau menggandeng tanganku keluar dari masjid, menuju ke rumah keluargaku. Masih ingatkah ketika kau cium keningku pertama kali, seusai sholat berjamaah di malam pengantin itu? Aku bahkan tak berani menatapmu. Malu dan salah tingkah. Apakah kau juga merasakannya, Cinta?
Selanjutnya, hari- hari penyesuaian kita jalani berdua. Kadang kesal, kaget, kagum bermunculan silih berganti. Aku yang sering ngambek membuatmu bingung. Bukanlah sebuah proses yang mudah. Dengan segala kesalahanku itu, kumohon maaf padamu….
Diam-diam aku belajar banyak darimu. Kesabaranmu membimbingku membuat malu. Aku yang tak pandai memasak, tak pandai merawat rumah, tak pandai melayanimu dan tak pandai menghargaimu. Semua keegoisanku kau balas dengan senyum. Entah berapa banyak kantung sabarmu…
Di sisi lain, kuperhatikan bagaimana kau memperlakukanku. Kau bahkan tak pernah marah padaku, atas semua salah yang pernah ada. Ya Allah…sujud syukurku telah menjodohkanku denganmu, imamku.
Ketika keluarga kita bertambah ramai dengan anak-anak, kau tampil sebagai ayah yang penyayang. Meski lelah setelah seharian mencari nafkah, kau tetap bersemangat menemani dua buah hati kita bermain bersama.
Semakin hari bersamamu, membuatku makin mengerti bahwa Allah mengirimmu untukku sebagai kakak, guru, teman dan pelindung. Darimu aku belajar tentang kesabaran, kelembutan dan kekuatan. Terima kasih suami tersayang…
Dalam kekuranganku kau menyayangi. Dalam kekhilafanku kau memperbaiki. Dalam semangatku kau menyertai.
Hari terus berganti, dan aku makin cinta. Jika dulu aku pernah berjanji cintaku padamu takkan berubah. Namun ternyata kini cintaku padamu telah bertambah. Tetaplah di sampingku, kita bermain bersama kedua anak kita dengan bahagia.
Teruslah berdiri tegak menjadi nahkoda kapal rumahtangga kita. Hingga kita sampai pada tujuan akhir nanti. Bersama kita, sehidup sesurga.
Surat ini kupersembahkan untukmu sebagai kado pernikahan kita yang ke sembilan, minggu depan. Semoga keluarga kita selalu mendapat barakah-Nya.
Wassalamu’alaikum warohmatullaahi wabarokatuh
Dengan sepenuh cinta,
NeVita Siswanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar