Senin, 24 Juli 2017

Makanan Haram

Makanan Haram

“Pak, ayo kita beli mie goreng” ajak Anto sambil menunjuk sebuah warung makan.
“Jangan di situ lah. Itu makanan haram. Kita nggak boleh makan” cegah bapaknya setelah melihat ada tulisan B2 di depan warung.
“Memangnya kenapa, Pak? Kemarin bapak janji kalau aku hafal Al Fatihah, aku boleh milih makanan sendiri”
“Tapi itu ada babinya. Dulu waktu bapak ngaji, katanya babi itu haram” jelasnya sambil mengusap kepala anaknya.
“Kita makan di situ aja!” Anto berlari menuju sebuah warteg.
Bapaknya mengangguk sambil meraih saku. Diambilnya dua lembar lima puluh ribuan hasil mencopet tadi siang. 

#Belajar FF
#Day 1

Kamis, 20 Juli 2017

Saatnya Sekolah Lagi

Minggu ini anak-anak mulai sekolah lagi. Kembali pada keseruan di pagi hari. Yuhuuu...ada empat orang yang mau mandi pagi buru-buru. Satu ke kantor, dua ke sekolah, dan satu lagi pengantar anak-anak :-)

Belum lagi urusan menyiapkan bekalnya...waaa..ini juga tak kalah seru. Heran juga saya, kalau sarapan di rumah anak-anak mau saja menyantap menu yang sudah tersedia di meja. Tapi kalau untuk dibawa ke sekolah, kenapa jadi lain-lain maunyaaa? Tiga orang yang bawa bekal dengan menu yang berbeda. Jadilah pengantar anak-anak merangkap koki ini mendadak pura-pura handal di pagi hari.

Seruuu yaaa membayangkan kehebohan pagi hari. Apalagi jika ada drama, misalnya susah bangun, atau berebut kamar mandi, ataupun mendadak rewel nggak mau sekolah. Hihihi...ibu rangkap jabatan ini harus tetap waras menghadapinya.

Pernah punya pengalaman serupa kah? Atau saat ini awal baru merasakan punya anak yang mulai sekolah? Saya punya beberapa cara mempersiapkan anak masuk sekolah :

1. Beberapa hari sebelum masuk sekolah, ingatkan kembali anak-anak tentang jadwalnya. Ajak mereka menyiapkan perlengkapan sekolahnya. Biasanya ini membuat mereka mempunyai semangat baru.
2. Ceritakan kembali tentang keseruan di sekolah, yang membuat anak semangat masuk sekolah lagi.
3. Sehari sebelum masuk sekolah, ajak anak menentukan menu bekalnya. Jadi Ibu bisa menyiapkan bahan-bahannya, misalnya malam hari bisa memotong sayurannya dulu, simpan di kulkas, pagi hari tinggal cemplung ke wajan.
4. Malam hari buat kesepakatan jadwal mandi, untuk menghindari berebutan.
5. Tidur tidak terlalu malam agar bisa bangun pagi, dengan berdoa sebelum tidur minta bisa bangun pagi.
6. Ajak anak untuk bersiap bangun pagi, dengan memasang alarm sesuai kesepakatan waktu yang ditetapkan.
7. Pagi hari, bangunkan anak dengan hati senang. Ingatkan bahwa Ibu telah menyiapkan bekalnya :-)

Beberapa cara di atas bisa mengurangi hal-hal yang kurang diharapkan terjadi sebelum berangkat sekolah, khususnya di pagi hari. Anak-anak bisa bangun pagi, bersiap ke sekolah dengan gembira. Ibu pun bisa senyum dengan tenang dan bahagia.

#TulisanSyawal
#MenjagaSemangat

Selasa, 18 Juli 2017

Jika Media Sosial Tak Ada

Beberapa hari lalu ramai teman membicarakan tentang rencana penghapusan media sosial. Hmmm..bagi saya hal ini cukup mengkhawatirkan.

Memang, duluuu tak ada media sosial pun tak mengapa. Dunia juga tak berhenti tanpa Facebook, Twitter, dan teman-temannya. Hidup pun terus berjalan tanpanya. Namun saya tetap khawatir.

Bukan karena takut nggak eksis, bukaaan. Selama ini saya juga jarang update status kok. Saya menggunakan media sosial sebagai sarana belajar. Sebagai Ibu Rumah Tangga beranak dua, saya sangat terbantu dengan media sosial yang ada. Misalnya saya memanfaatkan Facebook untuk ikut bergabung dengan group parenting. Dari sana saya bisa belajar tentang pengasuhan anak dari para orangtua hebat yang telah berpengalaman.

Atau saya juga bisa mengembangkan hobi dengan ikut komunitas menulis. Selain mendapat ilmu yang bermanfaat, saya juga banyak mendapat teman yang memberikan tambahan semangat untuk terus belajar. Hal-hal seperti ini akan lebih susah saya dapatkan secara offline. Diantara tugas mengurus rumah tangga dan keseruan membersamai anak-anak, saya belum punya waktu yang pas untuk ikut pelatihan offline.

Beberapa kali mendapat informasi tentang workshop kepenulisan secara langsung, namun belum rejeki bisa ikut menghadiri. Selain jarak, keadaan juga belum memungkinkan jika harus meninggalkan anak-anak. Kalau online kan bisa tetap ikut belajar, sambil menunggu anak tidur, dan menanti mesin cuci selesai melaksanakan tugasnya :-)

Jadii..jika harus dihapus, mungkin saya harus mencari cara lain untuk belajar, selain membaca. Adakah saran?

#TulisanSyawal
#MenjagaSemangat

Kamis, 13 Juli 2017

Ternyata Cintaku Kini...

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh,

Dear Mas Eko Budhy Prasetya,

Setiap memasuki bulan Juli aku selalu berdebar. Mengingat bagaimana peristiwa penting itu terjadi. Pertama kalinya kita bersentuhan saat aku menyalamimu dengan takzim, usai janji itu kau ucapkan. Aaahhh…masih tak bisa menahan butiran air mengalir dari sudut mataku kala mengenangnya.

Jika banyak remaja yang berkirim surat sebelum resmi menjadi pasangan, maka surat ini kubuat dengan sepenuh rasa untukmu, setelah hampir sembilan tahun kita hidup bersama. Terlambatkah? Kukira tidak…Bukankah cinta selayaknya tetap harus dipelihara? Dan inilah bagian dari caraku untuk tetap menyayangimu, Cintaku…

Surat ini kumulai dengan mengingat pertemuan pertama kita. Kau, yang wajahnya belum pernah kulihat sebelumya datang bersama adikmu, menemuiku. Entahlah, waktu itu aku tak merasakan getaran apa pun. Namun jujur, niat telah kuluruskan untuk mendapat jodoh pilihan-Nya. Berlanjut pada beberapa kali perbincangan melalui telepon, diskusi tentang banyak hal, aku mulai merasa ada sesuatu yang menuntunku membuat catatan tentangmu. Aku, yang sering ngeyel tiba-tiba bisa menerima semua pendapat yang kau berikan. Tentu saja karena kau memaparkan alasan yang bisa dipertanggung jawabkan. Hal itulah yang membuatku berpikir engkaukah calon imamku?

Keputusanmu datang menemui ibu untuk melamarku pun cukup mengejutkan. Dan dengan ijin Allah semua berjalan mudah. Benar- benar tak kusangka. Keluargaku yang belum lama berduka atas meninggalnya bapak, menyiapkan pernikahan sederhana kita.

Tanggal 17 Juli pagi aku telah bersiap. Kukenakan kebaya putih dan bawahan rok batik lengkap dengan kerudung putih berbordir sederhana untuk menyambutmu datang. Hingga ketika akad nikah terlaksana, rasa haru, bahagia, sedih, grogi dan berbagai rasa lain campur aduk di dada. Jantungku berdebar kencang saat kau menggandeng tanganku keluar dari masjid, menuju ke rumah keluargaku. Masih ingatkah ketika kau cium keningku pertama kali, seusai sholat berjamaah di malam pengantin itu? Aku bahkan tak berani menatapmu. Malu dan salah tingkah. Apakah kau juga merasakannya, Cinta?

Selanjutnya, hari- hari penyesuaian kita jalani berdua. Kadang kesal, kaget, kagum bermunculan silih berganti. Aku yang sering ngambek membuatmu bingung. Bukanlah sebuah proses yang mudah. Dengan segala kesalahanku itu, kumohon maaf padamu….

Diam-diam aku belajar banyak darimu. Kesabaranmu membimbingku membuat malu. Aku yang tak pandai memasak, tak pandai merawat rumah, tak pandai melayanimu dan tak pandai menghargaimu. Semua keegoisanku kau balas dengan senyum. Entah berapa banyak kantung sabarmu…

Di sisi lain, kuperhatikan bagaimana kau memperlakukanku. Kau bahkan tak pernah marah padaku, atas semua salah yang pernah ada. Ya Allah…sujud syukurku telah menjodohkanku denganmu, imamku.

Ketika keluarga kita bertambah ramai dengan anak-anak, kau tampil sebagai ayah yang penyayang. Meski lelah setelah seharian mencari nafkah, kau tetap bersemangat menemani dua buah hati kita bermain bersama.

Semakin hari bersamamu, membuatku makin mengerti bahwa Allah mengirimmu untukku sebagai kakak, guru, teman dan pelindung. Darimu aku belajar tentang kesabaran, kelembutan dan kekuatan. Terima kasih suami tersayang…

Dalam kekuranganku kau menyayangi. Dalam kekhilafanku kau memperbaiki. Dalam semangatku kau menyertai.

Hari terus berganti, dan aku makin cinta. Jika dulu aku pernah berjanji cintaku padamu takkan berubah. Namun ternyata kini cintaku padamu telah bertambah. Tetaplah di sampingku, kita bermain bersama kedua anak kita dengan bahagia.

Teruslah berdiri tegak menjadi nahkoda kapal rumahtangga kita. Hingga kita sampai pada tujuan akhir nanti. Bersama kita, sehidup sesurga.

Surat ini kupersembahkan untukmu sebagai kado pernikahan kita yang ke sembilan, minggu depan. Semoga keluarga kita selalu mendapat barakah-Nya.

Wassalamu’alaikum warohmatullaahi wabarokatuh

Dengan sepenuh cinta,
NeVita Siswanti

Kenapa Harus Menulis

Kenapa Harus Menulis

Bagi sebagian orang, mungkin menulis adalah merupakan hobi. Begitu pun saya pada awalnya. Entah kenapa saya lebih tertarik pada kegiatan menulis daripada yang lainnya. Seperti orang –orang yang sangat menyukai permainan sepak bola atau balapan motor, misalnya.

Namun seiring berjalannya waktu, saya merasa menulis bukan hanya sekedar hobi. Lebih dari itu, seperti panggilan jiwa. Saya mencintai kegiatan ini dan merasakan banyak manfaat darinya.  Setidaknya, saya mempunyai beberapa alasan yang membuat saya harus menulis.

1. Menulis untuk mencari pahala
Saya senang membaca buku. Saat membacanya saya kagum pada penulisnya. Betapa jika yang ia tulis memberikan efek positif pada pembacanya, tentulah ia pun berlimpah pahala atasnya. Saya jadi terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Dari satu tulisan, jika dibaca 100 orang, dan mereka terpengaruh menjadi lebih baik, wow bisa dihitung berapa ia akan panen pahalanya. Bagaimana jika dua, tiga, dan banyak lagi? Tentu saja saya akan persembahkan tulisan terbaik untuk mendapatkan balasan terbaik dari-Nya.

2. Menulis sebagai sarana berbagi
Saya termasuk orang yang kurang pandai berbicara secara lisan. Suara rasanya susah keluar jika harus berbicara di hadapan orang banyak. Padahal sebenarnya banyak ide yang muncul di kepala. Bagaimana orang akan tahu pikiran kita jika tak diungkapkan? Karenanya saya memilih menuangkannya lewat suatu tulisan. Mungkin berawal dari kisah atau cerita sederhana, namun semoga bisa memberi inspirasi pada sesama.

3. Menulis sebagai terapi jiwa
Sebagai perempuan, yang konon akan mengeluarkan kata yang jauh lebih banyak daripada laki-laki, saya sangat terbantu dengan kegiatan menulis. Meski tak menemukan teman ngobrol, saya bisa bercerita lewat tulisan. Kebutuhan pengeluaran kata saya sudah aman. Jika kondisi sudah tak nyaman yang membuat emosi meninggi, saya akan menumpahkannya dalam tulisan.  Dan, hasilnya sungguh jauh lebih nyaman. Keluarga pun aman dari omelan, karena hasrat ngomelnya sudah tersalurkan:-)

4. Menulis sebagai kenangan
Berbagai kegiatan dan peristiwa yang terjadi sehari-hari saya abadikan dalam tulisan. Kelak, bisa dikenang. Di masa datang, bisa kembali membuka catatan perjalanan hidup sebagai bahan perenungan, mengambil hikmahnya dan bahan instropeksi diri. Catatan kehidupan itu juga bisa ditunjukkan pada anak-anak sebagai kenangan. Semoga mereka menemukan pelajaran darinya.

5. Menulis adalah mengikat ilmu
Pernah mendapat nasihat dari teman, bahwa menulislah untuk mengikat ilmu yang kita dapat. Dan benar saja, setiap selesai belajar, mendapat ilmu baru, saya mencatatnya. Ternyata hal itu sangat membantu untuk lebih paham tentang materi tersebut. Di lain waktu, jika lupa saya bisa kembali membuka catatan yang saya buat, tentu akan lebih mudah dimengerti kembali, karena tulisan itu saya buat sendiri.

Itulah beberapa alasan saya saat ini. Bukan tidak mungkin akan bertambah kelak, karena saya masih terus belajar. Menulis untuk belajar, dan belajar untuk menulis, lebih dan lebih baik lagi, in sya Allah…

#TulisanSyawal
#MenjagaSemangat

Rabu, 12 Juli 2017

Komunikasi Produktif Lebaran

Bismillaah, menuliskan pengalaman lebaran tahun ini untuk introspeksi diri dan pengingat di masa datang.

Lebaran, saatnya bertemu dengan banyak orang. Yang jarang berjumpa di hari-hari biasa ada kesempatan bertukar berita. Demi rindu yang tersimpan membuat kita antusias bercerita  dan bertanya apa saja. Bertemu kembali dengan kawan lama tanpa sadar memancing pembicaraan yang kurang produktif.

"Eh, gimana kabar si A? Udah lama hilang kontak dengannya", tanya saya.
Kawan saya dengan semangat menjawab, "Dia kan begini dan begitu...Tau nggak sebenarnya dia itu..."

Saya terdiam. Merasa ada yang salah dalam percakapan ini. Maksud hati ingin menyambung silaturahmi, namun bisa jadi terjebak dalam ghibah tanpa disadari. Alih-alih lebaran kita mengubah diri lebih baik pasca Ramadhan, malah menambah dosa dengan bergosip ria.

Teringat materi komunikasi produktif  dalam kelas Bunda Sayang IIP dan hadits tentang bicara yang baik atau diam. Aaahh..masih tertatih lisan ini untuk menjadi lebih bermanfaat.

Kiranya ada beberapa hal yang saya catat agar meminimalkan ghibah tak sengaja :
1. Tanyakan kabar secara umum
2. Jika lawan bicara mulai bergosip, coba alihkan dengan sopan.
3. Jika ingin memberikan saran, katakan dengan santun, tanpa menggurui
4. Jika mendengar suatu kabar atau kisah tentang seseorang, sebaiknya tidak membicarakan tentang orangnya, namun mengambil hikmah atas peristiwa tersebut.
5. Jangan mengungkit masa lalu yang memancing ghibah

Tak mudah memang menjaga lisan. Tapi terus belajar untuk memperbaikinya merupakan usaha mendapat ridho-Nya, in sya Allah...

#TulisanSyawal
#MenjagaSemangat

Kamis, 06 Juli 2017

Mudik yang Berkesan

Bismillaah, mencoba menuliskan kisah mudik lebaran kami kemarin. Sebagai kenangan dan belajar mengambil hikmah di tiap kejadian yang dialami.

Ramadhan kali ini anak sulung saya (almost 8yo) puasa sehari penuh, atas kemauan nya sendiri. Menjalani puasa 25 hari kemudian sakit, muntah-muntah dan demam.

Rencana mudik yang sedianya akan kami laksanakan pada dua hari menjelang lebaran pun harus ditunda, menunggu si sulung sehat betul. Setelah berkonsultasi dengan dokter, kami meminta pendapat si sulung tentang rencana mudik. Sebenarnya ia semangat untuk mudik, namun tak begitu yakin dengan kondisi badannya yang masih agak lemas. Dokter mengijinkan membawa si sulung mudik, dengan catatan ia harus sering makan dan minum untuk menstabilkan lambungnya. Alhamdulillaah, tak ada hal serius yang dikhawatirkan.

Demi kenyamanannya, kami menyulap mobil menjadi kamar tidur. Kursi tengah kami lepas dan menggantinya dengan kasur. Si sulung senang, bahkan adiknya juga ikut tidur di kasur. Malam menjelang hari raya kami meninggalkan Bekasi menuju Kutoarjo. Setelah memantau kondisi lalu lintas jalur utara dan selatan melalui media sosial, kami memutuskan masih bisa lewat tol Cipali. Namun tetap menyiapkan alternatif jalur lain jika Cipali macet.

Sepanjang jalan anak-anak tidur, hanya sesekali bangun untuk minum. Si sulung pun tidak muntah, hal yang saya khawatirkan sebelumnya. Saya dan suami berdua melantunkan takbir sendiri di dalam mobil, di jalan tol tak terlihat dan tak terdengar takbir kemenangan meski malam itu ramai orang takbiran. Hal romantis yang saya kenang, menikmati malam bersama suami, sesekali memijit pundaknya, menyuapinya cemilan atau bercerita apa saja untuk mengusir kantuknya. Melewati malam berdua saja....

Setelah beristirahat dua jam di rest area, kami melanjutkan perjalanan. Suami sempat berkata, jika bisa sholat ied di Wangon sudah bersyukur karena jalanan ramai. Ternyata shubuh kami sudah sampai Wangon. Dan memasuki Gombong sudah saatnya sholat ied. Alhamdulillaah, bisa sholat ied meski nggak sempat mandi pagi :-)

Oia, sebelum berangkat kami telah mempersiapkan bekal makanan termasuk untuk sarapan pagi ini. Kami telah mempertimbangkan pagi hari raya belum ada warung makan yang buka. Jadi seusai sholat ied kami makan pagi bekal dari Bekasi. Dan dugaan kami benar, sepanjang jalan, pagi itu kami belum menemukan rumah makan yang buka.

Sekitar jam 9.30an kami sampai, bisa bertemu Ibu dan adik saya. Alhamdulillaah, anak-anak nggak rewel, jalanan relatif lancar, bisa sholat tepat waktu, mudik yang aman, nyaman dan bahagia.

Belajar dari kisah mudik ini, ada pelajaran yang bisa diambil. Bahwa tugas kita adalah berusaha, Allah lah yang menentukan. Jika menemukan kendala, tantangan (saya tak menyebutnya masalah) agar tak pantang menyerah. Teruslah berpikir positif, berbaik sangka pada-Nya, in sya Allah akan ada kemudahan, bahkan lebih dari yang kita bayangkan.

#TulisanSyawal
#MenjagaSemangat

Rabu, 05 Juli 2017

Merindumu

Dalam keriuhan aku menepi
Mencoba bertanya pada hati
Mengapa semangat memudar kini

Sujud yang kemarin syahdu
Tilawah yang kemarin merdu
Mengapa telah cepat berlalu

Jika Ramadhan bulan latihan
Selayaknya Syawal melahirkan teladan
Dan sepuluh purnama menjadi kebiasaan

Namun, kala takbir bergema
Aku seakan lupa
Akan segala janji saat puasa

Kembalikan Ramadhanku
Aku merindumu

#TulisanSyawal
#MenjagaSemangat