Sabtu, 24 Juni 2017

Menulis Sebagai Terapi Jiwa

Sejak dulu saya suka menulis. Waktu kecil, setelah membaca cerita dari suatu majalah saya akan membuat cerita sendiri dan menuliskannya untuk teman. Saya masih ingat, saya membuat surat untuk teman sebangku semasa SD. Kebiasaan ini berlanjut hingga saya dewasa. Di sela-sela kesibukan bekerja, saya masih suka membuat cerita dan menunjukannya pada teman-teman dekat.

Ketika telah menikah dan punya bayi, awalnya kegiatan menulis sempat terhenti, karena repotnya. Hingga suatu saat saya sedang merasa kesal, saya manfaatkan untuk menggosok lantai kamar mandi dengan maksud hati menyalurkan tenaga marah untuk kegiatan positif. Namun sampai tangan pegal saya masih belum lega juga. Akhirnya saya tulis isi hati saya dalam berbagai bentuk, puisi, surat, hingga cerpen. Setelah itu rasanya lebih legaaa...

Saya baru tahu kalau yang saya lakukan itu bagian dari terapi jiwa ketika membaca kisah Pak Habibie setelah ditinggal Bu Ainun meninggal dunia. Kala itu Pak Habibie mengalami kesedihan mendalam hingga dokter menyarankan empat hal, yaitu dirawat di RSJ, berobat di rumah dengan pengawasan dokter yang datang, curhat kepada orang terpercaya, atau curhat pada diri sendiri. Dan beliau memilih yang keempat, yaitu curhat pada diri sendiri dengan menuliskannya hingga berhasil menjadi buku. Dengan menulis, Pak Habibie bisa sembuh dari sedih yang berkepanjangan. Dengan menulis, beliau bisa bangkit dan kembali berkarya positif.

Kisah Pak Habibie dengan tulisannya membuat saya menjadi rajin menulis kembali. Apa saja bisa jadi tulisan. Kisah sedih, bahagia, kesal, kecewa, senang bisa menghasilkan tulisan yang menenangkan jiwa saya. Saya belajar untuk bisa menulis dengan lebih baik agar bermanfaat bagi orang lain. Tapi setidaknya, dengan menulis membuat saya menjadi tenang, bisa menjaga kestabilan emosi saya. Mari menulis lagi....dan bahagia kan datang, in sya Allah..

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDuapuluhTujuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar