Kamis, 24 Agustus 2017

Rindu

Henky memacu mobilnya agar segera sampai rumah. Tugasnya ke luar kota membuatnya tak tahan memendam rindu. Ia membayangkan istrinya di rumah sedang asyik bermain dengan Boni, anjing mereka.

Henky keluar dari mobil. Dugaannya benar.

“Haiii Sayang…” istrinya menyambut kedatangannya sambil menggendong Boni.

“Haaaiii…aku sangat rindu padamu” Henky mencium Boni dan mengambilnya dari sang istri.

#Belajar Flash Fiction
#Romance
#Tulisan5

Hadiah Kejutan

Aku akan segera pulang membawakanmu kejutan

“Laki-laki yang penuh pengertian” gumam Nina setelah membaca sms dari suaminya. Wajahnya ceria.

Kemarin ia menceritakan pada suaminya yang sedang ke luar kota betapa repotnya seharian mengurus rumah dan mengasuh anak balita mereka. Nina tersenyum membayangkan hadiah yang akan diberikan sang suami. Nina bersiap menyambut kedatangan suaminya.

Terdengar suara mobil memasuki halaman. Nina segera menggendong anaknya. Suaminya keluar dari mobil sambil tersenyum. Nina melihat sesuatu.

“Untuk meringankan pekerjaanmu, sengaja aku membawakanmu…” suaminya membuka pintu mobil.

Tiba-tiba pandangan Nina menjadi gelap setelah melihat suaminya menggandeng wanita cantik keluar dari mobilnya.

#Belajar Flash Fiction
#Romance
#Tulisan4

Sabtu, 19 Agustus 2017

Sudah Adilkah Saya?

Pertanyaan di atas mengganggu pikiran saya beberapa bulan terakhir. Saya merasa belum bisa menempatkan diri dengan baik. Ada sesuatu yang harus diperbaiki.

Berawal dari protes yang dilayangkan Mas, putra sulung saya tentang antar jemput sekolahnya. Selama ini ia pulang diantar jemputan dari sekolah. Sedangkan adiknya, masih TK dan beda lokasi sekolah, pulang pergi bersama saya. Mas menanyakan mengapa ia tak diantar jemput oleh saya juga.
"Mas belum pernah dijemput Ibu" protesnya suatu hari.

Saya bukannya tak mau. Saya baru belajar mengendarai sepeda listrik. Dengan mengumpulkan kekuatan saya belajar memboncengkan dan saya coba dulu untuk rute dekat. Makanya saya baru berani mengantar Adik ke sekolahnya. Saya sudah menjelaskan hal ini pada Mas, bahwa saya masih belajar. Sebenarnya Mas sudah cukup mengerti, namun protesnya waktu itu tetap saja membuat beban bagi saya.

Protesnya adalah bentuk ungkapan irinya. Saya merenung. Apakah benar, sikap saya telah menunjukkan bahwa saya telah berlaku tak adil padanya? Hingga ia merasa saya tak memperlakukannya sama dengan adiknya?

Demi menunjukkan bahwa saya pun senang jika bisa mengantar dan menjemputnya sekolah, saya berusaha untuk bisa memboncengkan dua anak sekaligus. Karena saya harus membawa serta adiknya saat mengantar dan menjemput Mas. Bismillaah, dengan sepenuh kekuatan saya beranikan diri untuk melakukannya. Terhitung mulai awal tahun ajaran baru ini saya telah bertambah jabatan, menjadi pengantar jemput Mas :-)

Ma sya Allah, perubahan sikap Mas saya rasakan. Saya bandingkan sikapnya dulu dan sekarang. Jika dulu ia sering berbuat iseng menggoda adiknya, sekarang berubah menjadi lebih lembut dan berkurang isengnya. Ekspresinya saat pulang sekolah pun lebih ceria, lebih terbuka dengan menceritakan berbagai hal, sebelum saya menanyakannya.

Alhamdulillaah, saya masih diberi kesempatan memperbaiki kesalahan yang tak sengaja ini padanya. Karena kurang ilmu, si sulung malah menjadi guru. Masih terus berpikir,  sudah adilkah saya?

#BelajarUntukMenulis
#MenulisUntukBelajar

Rabu, 16 Agustus 2017

Menghadap Raja

Hari Senin kemarin di sela-sela belajar tahsin, teman bercerita tentang kebiasaan ibunya yang selalu mandi sebelum melaksanakan sholat. Ma sya Allah..beliau menjaga kebersihan badannya sebelum menghadap Allah untuk berdoa.

Kisah teman saya tadi mengingatkan saya pada kisah seorang imam zaman dulu yang selalu memakai baju terindahnya dalam setiap tahajud.

Betapa orang-orang itu menjaga kebersihan dan penampilan terbaiknya pada saat sholat, menghadap-Nya. Sungguh suatu bentuk kecintaan, ketaatan, dan penghormatan yang tinggi pada Sang Maha Agung.

Jika kita ingin menemui tamu yang kita hormati saja tentu kita mempersiapkan diri sebaik mungkin. Atau pergi menghadiri suatu undangan, tentulah kita dandan dan ingin tampak rapi dilihat banyak orang. Kita malu jika tampil seadanya. Tapi bagaimana dengan penampilan kita saat memenuhi panggilan Allah dalam sholat?

Astaghfirullaah..pelajaran untuk saya agar terus memperbaiki diri. Masih sering saya lakukan, karena sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, membuat saya sholat dengan penampilan seadanya. Padahal, jika misalnya tiba-tiba ada Pak Camat datang, tidak mungkin lah saya juga menemuinya dengan baju rumah dan jilbab mencong. Lha ini sholat, memenuhi panggilan Allah, Sang Raja alam semesta, pantaskah saya tampil seadanya?

Hikmah dan teguran bisa datang dari mana saja. Alhamdulillaah, dari kisah sederhana ibu teman saya yang selalu mandi sebelum sholatnya memberikan inspirasi bagi saya untuk memperbaiki penampilan saat sholat. Mungkin saya belum langsung bisa untuk selalu mandi dan memakai baju baru dalam setiap sholat, namun saya berusaha memperbaiki penampilan sebelum sholat. Jika selesai masak, dan badan bau keringat ya mandi dulu. Meski bukan baju baru, ya paling tidak bukan daster butut yang dipakai untuk sholat. Meski memakai jilbab, rambut tetap disisir rapi. Masih terus belajar untuk konsisten menjalaninya juga.

#BelajarUntukMenulis
#MenulisUntukBelajar


Selasa, 08 Agustus 2017

Nilai Ulangan

Nilai Ulangan

“Kamu bagaimana sih, masak soal gini aja nggak bisa, makanya belajar” gerutu ibu setelah melihat nilai ulangan Anton.

“Aku sudah belajar” jawab Anton pelan.

“Belajar apa? Kok nilainya cuma dapat lima” ibu membaca lagi kertas ulangan Anton sambil mengernyitkan dahinya, seakan sedang berpikir keras.

Anton menunduk.

Ibu mendekatinya dan bertanya, “Ada apa? Tak biasanya kau begini.”

“Aku tak ingin sombong pada ibu” Anton menyerahkan ijazah ibunya yang ia temukan di bawah tumpukan baju.

Pipi ibu merah melihat angka-angka di ijazahnya.

#BelajarFlashFiction
#Tulisan2

Ibu, Bukan Super Woman

Menjadi ibu itu anugrah. Itu yang saya rasakan. Saya bisa belajar banyak hal setelah menjadi Ibu. Dulu saya nggak pernah masuk dapur. Sekarang, lumayan lah sudah tahu beberapa nama bumbu dan mencoba beberapa resep. Meski belum bisa dibilang enak, tapi cukup lah ketika suami dan anak-anak suka.

Seiring berjalannya waktu, ternyata pekerjaan Ibu seakan tak ada habisnya. Sejak membuka mata di pagi hari hingga tidur malam segala tugasnya masih belum semuanya selesai. Sepertinya waktu 24 jam sehari semalam dirasa kurang.

Antara anugrah dan tantangan. Di satu sisi saya ingin mempelajari dan mengerjakan banyak hal baru. Namun di sisi lain seakan waktu tak cukup mengijinkannya.

Dulu, saya belum bisa mengendarai sepeda. Anak-anak pergi dan pulang sekolah menggunakan jasa jemputan dari sekolah. Saya di rumah belajar memasak dan membuat kue untuk menyambut kedatangan mereka. Kami menikmatinya saat itu.

Kini, ketika saya telah bisa mengendarai sepeda, anak-anak minta saya yang mengantar jemput mereka. Demi mempertimbangkan waktu kebersamaan ibu-anak dan menyiasati waktu untuk lebih dekat dengan mereka, saya pun menyetujuinya. Tampaknya keputusan biasa. Tapi ternyata hal ini cukup banyak menyita waktu saya juga. Sekarang saya hanya sempat memasak dan membuat cemilan yang mudah dan cepat.

Hidup ini pilihan. Tangan saya hanya dua, kaki juga dua. Dengan tenaga yang terbatas juga, saya tak bisa memaksakan diri agar semua pekerjaan bisa saya selesaikan semua. Tak mengapa jika saya melepaskan satu hal demi mendapatkan hal lain yang lebih bermakna. Saya seorang Ibu, bukan super woman.

#MenulisUntukBelajar
#BelajarUntukMenulis