Rabu, 31 Mei 2017

Kelemahanku dan Cara Mengatasinya

Kelemahan dan Cara Mengatasinya

Sejak kecil aku takut ketinggian. Aku masih ingat aku tak berani naik permainan jungkat jungkit. Pernah sekali naik bersama ibuku, pas posisi di atas rasanya takut banget. Aku sudah teriak minta turun sambil menangis. Main ayunan juga sama, deg degan. Entah lah, mungkin memang sudah bawaan sejak lahir.

Repotnya ketika melewati jembatan penyeberangan yang berada di atas. Aduuuh…itu rasanya lutut seperti tak bertulang, lemas. Kalau masih bisa menyeberang lewat bawah aku pilih itu saja. Suatu ketika tak ada pilihan lain,  aku harus lewat jembatan penyeberangan. Dengan segala kekuatan aku mencoba naik. Sampai tengah jembatan mataku melihat mobil yang berlalu lalang di bawah, seeeer hati langsung ciut. Kakiku tak mau kuajak melangkah. Aku bingung, untuk turun pilihannya maju atau mundur. Tapi keduanya sama-sama melintasi jembatan ini. Akhirnya aku maju sambil jongkok karena takutnya.

Sadar akan kelemahan ini, aku tak diam diri. Aku berusaha melawannya, yah..paling tidak bisa mengurangi supaya nggak parah banget. Beberapa hal yang kulakukan untuk mengatasi rasa takutku adalah :

1. Berlatih naik tangga sedikit demi sedikit
Ada pepatah mengatakan alah bisa karena biasa. Jadi aku harus membiasakan diri naik ke tempat yang tinggi. Tentu saja bertahap. Maka aku menaiki tangga pelan-pelan, sedikit demi sedikit. Jika sudah terbiasa naik sampai anak tangga kelima dan rasanya tak gemetar, aku melanjutkannya lagi hingga lebih tinggi.

2. Mencoba rileks dan membayangkan hal-hal menyenangkan saat berada di atas
Aku sadar ketakutanku karena membayangkan berbagai hal yang bersifat negative sehingga membuatku gentar sebelum melangkah naik. Aku harus bisa menanamkan pikiran positif agar membuatku semangat naik ke atas. Dengan membayangkan hal-hal yang menyenangkan membantuku bersemangat naik ke atas.

3. Mengunjungi tempat wisata pegunungan atau perbukitan
Jika ada kesempatan berlibur aku lebih memilih lokasi yang berbukit. Biasanya tempat wisata seperti itu jalanannya menanjak tapi sudah dibentuk teratur. Beberapa diantaranya sudah ditata rapi dengan batu-batu maupun paving block, sehingga memudahkan pengunjung untuk menikmati pemandangannya. Banyaknya pengunjung juga membuatku lebih semangat untuk menuju puncak.

4. Berdoa agar selalu dilindungi dan dalam kondisi aman
Tak diragukan lagi, bahwa kekuatan doa sangatlah besar. Dengan memohon pada Allah, pikiran akan menjadi lebih tenang sehingga bisa mengurangi kekhawatiran yang muncul.

Kini aku tak setakut jaman dulu. Aku telah berani naik escalator, jembatan penyeberangan tanpa jongkok tentu saja. Meski belum hilang, namun setidaknya sudah berkurang. Sahabat punya pengalaman yang sama?

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeLima

 

Selasa, 30 Mei 2017

Lima Negara yang Ingin Kujelajahi

Lima Negara yang Ingin Kujelajahi

Jika membaca buku tentang kota – kota di luar negeri, aku selalu membayangkan aku berada di sana. Boleh lah menuliskannya dulu beberapa tempat yang ingin kukunjungi di dunia ini. Berharap suatu saat akan terwujud aku bisa keliling dunia.

Inilah negara-negara di dunia yang ingin kukunjungi :

1. Arab Saudi
Sebagai muslim aku ingin berkunjung ke sana, untuk melaksanakan haji dan umroh. Selain itu di sana banyak tempat bersejarah jejak nabi Muhammad mendakwahkan Islam semasa hidupnya. Tentu menjadi impian bisa menyaksikan Ka’bah, Masjid Nabawi, dan berbagai lokasi lain.

2. Mesir
Sejak membaca novel karya HabiburrahmanEl Shirazy, aku sudah terpesona dengan keindahan negeri seribu menara ini. Ditambah peninggalan Firaun dan Sungai Nil nya yang telah terkenal sejak dulu. Menyaksikan piramida dari dekat tentulah lebih mengesankan daripada yang kulihat di televisi selama ini. Yang tak kalah seru adalah Universitas Al Azhar yang telah melahirkan banyak ulama terkenal di negeri ini.

2. Spanyol
Tempat lain yang ingin kukunjungi adalah Spanyol. Pergi ke sana aku ingin mengunjungi Andalusia. Menikmati kota tua Cordoba juga merupakan impianku. Dengan sejarah literasi dan perpustakaan serta melahirkan nama-nama ilmuwan besar tentulah tempat ini memikat hatiku. Tempat ini pula saksi salah satu kejayaan Islam dalam masa pemerintahan Dinasti Umayyah pada abad ke-8 hingga ke-11 M.

4. Italia
Aku juga pernah membaca kisah orang yang berkunjung ke Italia. Ada beberapa hal yang ia sampaikan dan menarik perhatianku. Salah satunya adalah Napoli. Di sana kita bisa mengunjungi Museum Arkeologi Nasional, konon merupakan museum arkeologi terlengkap di Eropa. Aku juga ingin mencicipi kuliner khas Italia yaitu pizza. Mau tahu pizza asli Italia seperti apakah rasanya?

5. Finlandia
Aku sering mendengar bahwa system pendidikan di Finlandia adalah yang terbaik. Aku pun ingin sekali berkunjung ke sana. Aku ingin mempelajari dan mengadopsi system yang baik itu guna kuterapkan pada anak-anakku. Jika kelak aku bisa mempunyai lembaga pendidikan, aku bisa menerapkan kebaikannya untuk ikut membangun bangsa. Aku ingin turut mencerdaskan bangsa dengan membentuk generasi berkarakter mulia.

Itulah lima negara yang ingin kukunjungi jika aku mempunyai kesempatan berkeliling dunia. Aku akan menjelajahi dan menuliskannya agar dapat menjadi kenangan dan semoga bisa menginspirasi orang tentang tempat-tempat tersebut. Semoga Tuhan mengabulkannya…

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeEmpat

Senin, 29 Mei 2017

Catatan Kecil dari Acara Hafiz Indonesia

Tadi siang menemani anak-anak menonton acara Hafiz Indonesia di salah satu televisi swasta. Acara yang menanpilkan anak-anak kecil penghafal Quran itu memang selalu kami ikuti di setiap Ramadhan. Anak-anak senang menyaksikan para Hafiz kecil itu melantunkan ayat suci dengan sempurna.

Melalui acara itu kami terinspirasi untuk menghafal AL Quran. Betapa saya malu pada anak usia 8 tahun yang sudah menghafal 30 juz. Sedikit demi sedikit kami mulai menghafalnya. Meski tertatih dan baru beberapa surat yang kami hafal.

Pada acara tadi siang, ada salah satu peserta yang sudah hafal 30 juz, 500 hadist, bacaannya juga luar biasa, namun ada masukan dari Syeh Ali Jaber dan Ustad Abi Faisol yaitu tentang kepercayaan diri si anak. Menurut para juri, anak ini terlihat kurang percaya diri.

Ketika Irfan Hakim sebagai host menceritakan keseharian si anak, ternyata ia adalah seorang yatim. Ustad Abi Faisol langsung berdiri dan memeluk anak tersebut. Sang ustad mengatakan bahwa anak yatim memerlukan figur yang ia perlukan untuk dijadikan panutan. Ia merindukan ayahnya. Itulah sebabnya dalam Islam Allah memerintahkan kita untuk menyayangi dan menyantuni anak yatim.

Saya, yang menyaksikan dari rumah tak kuasa menahan air mata. Betapa sosok ayah sangat berpengaruh pada pembentukan karakter seorang anak. Saya pun merasakannya. Ketika ayah saya meninggal, ada sesuatu yang hilang dalam diri saya.  Mungkin bedanya, saat itu saya telah dewasa. Bagaimana dengan anak kecil yang sejak bayi tak berjumpa dengan ayahnya?

Belajar dari hal di atas, saya mencatat untuk lebih memperhatikan anak yatim. Moment Ramadhan mungkin pas untuk kita lebih menyayangi mereka. Terima kasih ustad telah mengingatkan...

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeTiga

Minggu, 28 Mei 2017

Terima Kasih Bu Septi...

Aku tak akan bosan membicarakan sosoknya. Tokoh inspiratif bagi banyak wanita di Indonesia. Telah banyak penghargaan tingkat nasional yang beliau peroleh. Namun tetap ramah dan bersedia berbagi pada siapa saja.

Ibu Septi Peni Wulandani, founder Institut Ibu Profesional (IIP). Seorang ibu dari tiga orang anak, yang mendidik sendiri anak-anaknya namun berhasil hingga mempunyai karya. Beliau lulusan FKM, yang rela melepas SK PNS nya demi menjadi full time mom. Berbekal keyakinan dan doa dari orang tuanya ia mantap menikah dengan Pak Dodik, yang memang meminta agar anak-anaknya dididik oleh ibunya sendiri secara langsung.

Berbagai pengalaman seru ia jalani dalam membersamai anak-anaknya yang memilih belajar homeschooling dengan ibunya. Konsep-konsep menemukan cara menjadi ibu profesional ia catat dan kini ia bagikan pada kami dalam kurikulum di IIP.

Aku lupa awalnya membaca tentang Septi Peni dan IIP nya di mana. Namun aku langsung tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. Hingga pada suatu hari aku bisa mengikuti acara parenting dengan nara sumber Bu Septi di Bekasi, tempat tinggalku. Mendengarkan kisah perjalanan hidupnya hingga beliau berpikir untuk mendirikan IIP membuatku makin terpana. Inilah sesuatu yang aku cari dari dulu. Ibu rumah tangga yang berkualitas. Saat itu juga aku bergabung dalam komunitas IIP.

Masuk menjadi bagian dari IIP membuatku makin takjub. Ternyata banyak ilmu yang belum aku pelajari untuk menjadi seorang ibu profesional. Padahal dengan ilmu-ilmu tersebut hidup kita jadi lebih berarti. Sedikit demi sedikit aku mempelajarinya. Makin belajar makin wow, aku makin tertarik untuk lebih dalam lagi untuk belajar dan mempraktekannya. Dan ini membuatku senang. Kulakukan dengan riang pula.

Setelah bergabung di IIP aku tak hanya menjadi ibu rumah tangga yang berkutat dengan urusan domestik saja. Namun aku bisa membagi waktu untuk suamiku, anak-anakku, juga untuk diriku sendiri. Aku malah bisa menemukan passionku yang sebenarnya. Dan aku bisa mengalokasikan waktu untuk menyalurkan hobiku, menulis. Aku bisa lebih berkarya setelah mempelajari materi IIP.

Aku yang sempat galau pasca resign dan berubah profesi menjadi Ibu Rumah Tangga seperti mendapat segar setelah mengenal sosok Bu Septi. Meski keputusan resign aku pilih sendiri dan kuambil secara sadar namun karena kurangnya ilmu, tak kujalani dengan bahagia. Namun hal berbeda kurasakan setelah aku mendapat sharing dari Bu Septi.

Bagiku, beliau tak hanya sekedar tokoh yang kukagumi. Darinya aku banyak belajar menjadi ibu rumah tangga yang profesional. Bahwa mendidik anak dan berkarya bukanlah sesuatu yang bisa saling menghalangi. Justru bisa dijalankan dengan saling mendukung. Misalnya, dengan menuliskan berbagai kegiatan anak dan mempublikasikan pada orang banyak, bisa memberikan inspirasi cara pengasuhan anak. Tetap bisa berkarya tanpa harus meninggalkan anak-anaknya. Terima kasih Bu Septi, salam hormat dari saya…teruslah menginspirasi banyak wanita…

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
#HariKeDua

Sabtu, 27 Mei 2017

Pawai Obor di Sikunir, Dieng

Pawai Obor di Sikunir, Dieng

Hari Kamis kemarin kami mengunjungi Dieng. Tujuan kami adalah melihat sunrise di puncak Sikunir. Menempuh perjalanan dari Bekasi lewat tol Cipali kami transit dulu di Pekalongan. Rencananya kami mau menempuh rute Barang - Bandar - Batur. Namun setelah mendapat informasi jalan Bandar - Batur lebih sempit dan terjal kami memutuskan lewat jalur Kajen - Kalibening - Batur.

Setelah melewati jalan berkelok-kelok dan menikmati pemandangan yang indah, sampailah kami di Batur. Hawa dingin sudah mulai terasa. Makin naik menuju Dieng makin dingin. Kostum kami sudah lengkap dengan jaket, sarung tangan dan kaos kaki.

Ternyata menuju Sikunir udara tambah dingin. Meski dengan jaket, kami tetap merasa kedinginan. Maghrib kami telah mendapat homestay di dekat Danau Cebong, tak jauh dari puncak Sikunir. Kami istirahat sebentar di homestay.

Selepas isya terdengar pengumuman dari masjid jika akan dilaksanakan pawai obor menyambut Ramadhan. Panitia menghimbau agar warga segera berkumpul. Kami tertarik untuk menyaksikannya. Sekalian keluar untuk makan malam.

Dan waktu kami keluar dari homestay, ma sya Allah...hembusan angin terasa masuk menembus jaket. Tapi suara riuh anak-anak kecil yang menyalakan obor sambil bernasyid sungguh membuat kami tetap bertahan. Sambil menunggu makanan siap kami duduk di teras warung makan memperhatikan warga setempat. Saya melihat keakraban yang terjalin diantara mereka. Ibu-ibu sambil berselimut bercengkerama dengan diselingi tawa. Bapak-bapak menggendong anak kecilnya di belakang tanpa canggung. Mereka semua berbaur, tak ada yang sibuk dengan hand phone. Mereka berinteraksi secara nyata. Sungguh saya merindukan suasana seperti itu. Hal yang sudah sangat jarang saya temui di Bekasi.

Keramahan masyarakatnya masih terasa. Ketika melihat anak saya, seorang bapak menawarkan obornya. Tentu saja anak saya sangat senang. Kami ikut hanyut dalam kegembiraan mereka.

Mengawali Ramadhan kali ini, saya belajar tentang kebahagiaan. Sungguh mudah merasakan bahagia jika kita menikmatinya. Menyambut Ramadhan dengan pawai obor bersama tetangga dan kerabat mungkin menjadi salah satu cara warga Sikunir menikmati kebahagiaan. Sederhana namun begitu dalam maknanya. Ketulusan mereka bisa saya rasakan.

Aaahh...saya jadi rindu suasana penuh keakraban, ketulusan, keramahan yang nyata. Diri kita benar-benar hadir bukan hanya ada namun sebenarnya kita sibuk dengan handphone di genggaman.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara

Jumat, 19 Mei 2017

Melangkahlah, Pasti Ada Jalan

Melangkahlah, Pasti Ada Jalan

Dalam hidup, aku bersyukur Allah selalu memberiku peringatan agar tetap berjalan on track. Jika hidup dalam kondisi lancar aku tidak terlalu memperhatikan berbagai hikmah-Nya. Namun jika dalam keadaan jatuh datangnya petunjuk akan sangat membantuku bangkit.

Pada awal kuliah dulu, aku tidak sungguh-sungguh menjalaninya. Aku diterima pada jurusan Keselamatan Kerja, merupakan pilihan keduaku dalam UMPTN. Padahal hatiku sangat ingin diterima pada jurusan Farmasi sebagai pilihan pertama. Akibatnya, aku menjalani kuliah dengan setengah hati. Antara ingin keluar dan mengulang UMPTN tahun depan, namun di sisi lain ingin membuktikan juga bahwa aku mampu mengikuti kuliah meski tak menyukainya.

Semester satu aku masih bisa mengikuti mata kuliah dasar. Beberapa diantaranya mirip dengan mata pelajaran  SMA. Namun semester dua, ketika materi kuliah mulai lebih menjurus aku mulai ketinggalan. Sering mengulang untuk materi praktikum dan remidi beberapa mata kuliah. Puncaknya, nilai D mewarnai daftar IPku pada semester dua. Sungguh mengecewakan. Aku merasa gagal.

Kuceritakan masalahku pada orangtua. Mereka memberiku saran agar tetap kuliah pada jurusan yang sekarang. Sayang juga biaya yang sudah dikeluarkan selama setahun. Pun belum tentu aku bisa lolos UMPTN lagi.

Aku kembali ke kampus dengan hati kacau. Saat mengurus pengajuan SKS semester tiga tak sengaja aku membaca mading yang terpampang di depan loket daftar ulang. Aku lupa kisah apa yang tertera di situ, hanya ada kutipan yang menarik perhatianku.
“Karena sesunggguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS Al Insyiroh : 5-6)
Allah selalu punya cara untuk menyadarkan hamba- Nya. Kurenungi kutipan ayat suci itu berhari-hari. Satu kalimat penyemangat yang diulang dua kali dalam satu surat. Aku mencoba berpikir positif, mungkin sekarang waktunya bangkit dan menata kembali kuliahku. Pasti ada jalan keluar untuk setiap masalah.

Kujalani tahun-tahun berikutnya dengan lebih semangat. Ternyata aku bisa juga mengikuti perkuliahan dengan lancar. Nilaiku cukup memuaskan, hampir semua A dan B. Aku pun lulus dengan IPK mendekati angka tiga. Terbayar kegagalan tahun pertama.

Hari berganti dan aku telah menyelesaikan kuliah. Dalam setiap langkah aku masih mengingat kutipan favorit. Jika bertemu masalah, kuyakinkan diri sendiri bahwa pasti ada kemudahan untuk bisa menghadapinya. Aku bersemangat dalam mencari pekerjaan hingga aku diterima di sebuah perusahaan swasta sebagai Koordinator Keselamatan Kerja.

Satu hal yang membuatku hampir menyerah adalah urusan jodoh. Di usiaku menjelang 30 aku masih melajang. Beberapa kali berteman dekat namun belum sampai ke pelaminan. Kuhabiskan waktu luangku untuk membaca. Saat hari libur aku main ke toko buku, di sana aku menemukan kalimat dari Asma Nadia “Selalu ada kemudahan, sekalipun saat dikelilingi kesulitan. Allah tidak memberimu jalan buntu”. Aku kembali disadarkan bahwa ada banyak jalan.

Aku kembali meneguhkan tekadku. Segala cara aku coba menjemput jodohku. Kubuka semua peluang. Minta dikenalkan teman, guru ngaji, menjadi anggota biro jodoh suatu komunitas hingga berkenalan lewat media online. Aku yakin, diantara sekian banyak usaha pasti akan ada yang membuahkan hasil. Dan benar, Allah mempertemukanku dengan lelaki yang kini menjadi suamiku.

Hingga kini, dua kutipan di atas masih aku cetak tebal dalam kamus hidupku. Teruslah melangkah dan berusaha, pasti ada jalan !

#30DayWritingChallenge
#Day2KutipanYangBerkesan

#BelajarMenulis
#Day4
#Odopfor99days

Kamis, 18 Mei 2017

Aku, Bayanganku dan Cinta Monyet Itu

Aku, Bayanganku dan Cinta Monyet Itu

Mengingat masa remaja konon menyenangkan. Namun bagiku, ada beberapa hal yang membuat dahi berkerut saat mengenangnya.

Masa kecilku tinggal di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Orangtuaku berprofesi sebagai guru. Sejak kecil aku telah dilatih untuk berprestasi, terutama di bidang akademik. Tak heran saat SD, aku selalu mendapat ranking satu. Enam tahun selalu menjadi juara kelas. Aku merasa bangga atas prestasiku tersebut. Namun memasuki SMP, aku mulai merasakan hal yang berbeda.

Saat lulus SD, aku masuk SMP di kota kecamatan, yang berarti bergabung dengan banyak teman dari SD berbeda. Pergaulanku pun semakin luas. Aku mulai mengenal lagu-lagu dengan Bahasa Inggris dan beberapa majalah remaja. Aku juga mulai mengikuti beberapa ekstra kurikuler. Aku menikmatinya. Tapi ada ketakutan yang kualami terkait prestasi akademikku.

Aku sangat ketakutan jika nilaiku jelek. Selain karena tuntutan orangtua, aku juga merasa malu jika aku tak mendapat ranking satu. Pikiranku membayangkan ejekan orang jika aku yang sewaktu SD selalu juara kelas sekarang tak lagi berprestasi. Aku ketakutan dengan bayanganku sendiri.

Sebenarnya orangtuaku pun tak menuntut aku harus ranking satu. Target mereka aku masih masuk sepuluh besar di kelas unggulan. Tapi aku terlanjur dibayangi targetku sendiri. Aku jadi sangat egois. Tiap mengerjakan soal aku tak mau berbagi jawaban dengan teman. Aku cenderung menyendiri.

Karena ketakutanku itu, aku tak mempunyai teman dekat. Semua kuanggap ancaman bagi posisi meraih ranking di kelas. Aku terlalu serius dalam menghadapi pelajaran. Padahal di sisi lain, masa puberku mulai terjadi. Aku merasa tertarik pada lawan jenis.

Aku galau sendiri. Aku menyimpan sendiri rasa ketertarikanku. Tak ada teman yang bisa kuajak cerita. Aku pun tak berani berkisah pada orangtua. Bisa runyam kalau sampai ayah ibuku tahu bahwa aku sedang jatuh cinta. Mereka termasuk tipe orangtua yang melarang anaknya untuk pacaran di masa sekolah. Mereka beralasan bahwa pacaran hanya akan meghambat prestasi belajar.

Kegundahanku hanya membuatku tak bisa konsentrasi. Alih-alih mengejar ranking satu, mengikuti pelajaran pun banyak yang tak masuk otak. Beberapa kali aku tak mencatat materi dan menjawab soal dengan asal saja. Kelas satu dan kelas dua aku hanya masuk sepuluh besar. Aku sedih dan kecewa.

Kenaikan kelas tiga menjadi langkah awalku memasuki semangat baru. Aku tak lagi memikirkan apa kata orang jika aku tak lagi juara kelas. Aku juga sudah menyingkirkan rasa “cinta monyet” ku. Aku mulai mempunyai target baru, masuk SMA di kota lain, salas satu SMA favorit di karesidenanku. Dan untuk bisa masuk SMA itu, lulusan SMP luar daerah sepertiku harus dengan NEM (Nilai EBTANAS Murni) yang tinggi melebihi NEM SMP kota tersebut.

Aku mulai serius belajar dengan sungguh-sungguh. Dan aku mulai terbuka dengan teman-teman. Beberapa diantaranya juga berniat mendaftar di SMA favorit itu. Kami berjuang bersama. Ketakutanku kini kulawan dengan tekun belajar dan berdoa.

Aaah, mengenang masa SMP memberiku hikmah kehidupan yang luar biasa. Bahwa kadang kita terbelenggu oleh ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Kita takut pada bayangan tentang bagaimana orang lain memandang kita, padahal belum tentu orang lain mempunyai pikiran yang sama dengan yang kita khawatirkan. Mari berpikir positif, selalu!

#30Day Writing Challenge
#Day 1

#BelajarMenulis
#Day3
#Odopfor99days

Selasa, 16 Mei 2017

Congklak

Sudah lama ingin mengenalkan permainan tradisional pada anak-anak. Beberapa waktu lalu pernah mengajak mereka ke festival permainan tradisional di Depok. Mereka sempat tahu dan menikmati gobak sodor. Karena keterbatasan waktu kala itu, tak banyak yang bisa dimainkan.

Saat ada festival dongeng di musium nasional, mereka sempat melihat dan memainkan dakon sebentar. Tapi mereka lebih suka memainkan alat musik yang ada di situ.

Kemarin saat perjalanan pulang menjemput si bungsu dari sekolah, kami bertemu tukang mainan di jalan. Bapak yang sudah sepuh itu mendorong gerobaknya. Dengan niat sedikit membantunya, saya mengajak anak-anak untuk membeli mainan padanya. Tiba-tiba saya ingat dakon.
"Ada dakon, Pak?" tanya saya.
Si Bapak tampak bingung dan menjawab, "Nggak ada Neng, paling ada begini" sambil membuka dagangannya. Dan ternyata saya menemukannya.
"Itu yang di bawah apa, Pak?" saya menunjuk ke bungkusan berwarna hijau.
"Ooohh..itu mah congklak" jawab si Bapak.
Aha! Saya baru ingat, nama lain dari dakon adalah congklak.

Alhamdulillaah, anak-anak suka. Sampai rumah langsung dibuka. Si bungsu yang masih TK belajar menghitung manik-maniknya. Si sulung dengan gaya leadership nya mengatur berapa banyak manik-manik yang akan dibagi-bagi tiap lubangnya.

Masih ada keinginan saya mengenalkan permainan zaman saya kecil dulu, bola bekel, bongkar pasang aneka baju dengan kertas, yoyo, lompat tali, sudamanda, apa lagi yaa...Ini sebenarnya mau mengenalkan permainan tradisional pada anak-anak, atau ibunya yang belum puas main zaman kecilnya :-p :-)
Yang penting anak riang dan Ibu senang :-)

#BelajarMenulis
#Day2
#Odopfor99days

Rabu, 10 Mei 2017

Rejeki Itu Pasti

Rejeki Itu Pasti

Bismillaah, belajar mencatatkan hikmah. Hari Senin pekan kemarin, akhir long week end kami sekeluarga belum mempunyai rencana seru. Awalnya suami mau ke bengkel motor, namun ternyata tutup, tanggal merah :-)

Sudah agak siang akhirnya suami mengajak kami ke Bogor, ada setu bagus yang ingin beliau tunjukkan pada anak-anak. Berangkatlah kami dari Bekasi bakda Dzuhur, dengan perkiraan sampai di sana sudah menjelàng sore, tak lagi panas :-p

Qodarallah, di jalan tol jagorawi sudah mulai hujan. Mendekati Bogor tambah deras, pandangan pun agak tertutup kabut. Dengan pertimbangan keselamatan, kami putuskan ke Bogor Kota saja, wisata kuliner. Dengan cepat saya search Google tempat makan yang enak dan murah di dalam kota Bogor. Beberapa sudah dicatat. Sambil melihat Google map, kami mencari sebuah warung soto. Hujan begini enaknya yang berkuah panas :-)
Setelah sempat nyasar dan balik arah, ketemu juga warung Soto nya. Dan ternyata habis !

Sambil tengok kanan kiri kami mulai lagi mencari warung makan di jalan yang kami lewati. Kali ini sudah tak sempat membuka internet lagi. Saya berdoa semoga dapat warung yang ada mushola nya, biar skalian sholat Ashar. Hujan masih deras. Tiba-tiba suami berhenti,
"Bagaimna kalau kita makan bakso saja? Itu di depan ada bakso"
Saya menanamkan penglihatan, yes bakso yang sama pernah kita nikmati di Wonogiri.
Dan alhamdulillaah, di dalam ada tempat sholatnya, sip !

Saya, suami dan anak bungsu makan bakso, sedangkan si sulung hanya minum jus tomat. Giginya tiba-tiba sakit. Rasanya berdenyut-denyut, katanya.

Selesai makan dan sholat kami segera meluncur pulang. Tujuan kami ke Dokter Gigi.
Di dalam mobil saya berkata, " Ma sya Allah, makan bakso aja kita jauh banget ya"
Suami menjawab, "itulah rejekinya penjual bakso. Kita nggak tahu daerah ini, tapi Allah mengantarkan kita datang padanya".

Benar juga. Saya tak menyangka kami ke Bogor hanya untuk makan bakso, tak jadi mampir ke mana-mana. Selain hujan, gigi si sulung yang sakit harus kami prioritaskan.

Belajar dari kisah ini, saya mencatat bahwa rejeki sudah diatur oleh-Nya. Tugas kita hanya berusaha, bekerja, berdoa. Tak perlu risau rejeki akan salah tempat, lakukan yang terbaik dan Allah Yang Maha Pemurah akan memberi kita kejutan-kejutan tak terduga.

#BelajarMenulis
#Day1
#Odopfor99days