Sabtu, 30 September 2017

Buku Air Akar, Menikmati Budaya Nusantara Melalui Cerita Pendek

Buku Air Akar, Menikmati Budaya Nusantara Melalui Cerita Pendek

Awalnya tidak sengaja menemukan buku ini. Saat ada bazar buku Gramedia di Carrefour, saya ikut melihat-lihat. Barangkali ada yang menarik dan murah, pikir saya. Hihihi…maklum sebenarnya bukan saatnya jajan buku saat itu. Tapi jika ada yang terjangkau setara semangkok bakso, ya bolehlah diperhitungkan. Meski itu artinya saya harus mengalah tak makan bakso, tak apalah demi buku (

Ketika melihat buku ini, yang membuat saya tertarik pertama kali adalah keterangannya. Buku ini merupakan kumpulan Cerita Pendek para finalis Kompetisi Menulis Tulis Nusantara 2012. Wah bagus nih, pikir saya. Membaca cerpen-cerpen yang lolos kompetisi menulis dari suatu komunitas, bisa untuk belajar juga. Dan ternyata harganya sedang discount. Sip, saya langsung membelinya.

Dan ternyata, buku ini memang keren. Saya jelaskan dulu identitasnya ya.
Judul buku : Air Akar
Pengarang : Finalis Kompetisi Menulis Tulis Nusantara
Penerbit : PT Gramedia Putaka Utama
Tahun terbit : 2013
Tebal buku : 146 halaman

Buku ini berisi sepuluh cerita pendek yang telah lolos seleksi dari suatu kompetisi yang telah bersaing dengan 1.412 karya. Melibatkan juri-juri para penulis ternama seperti Helvy Tiana Rosa, Ika Natassa, Alberthiene Endah, Eka Kurinawan dan Ollie. Baru membaca pembukaannya saja saya makin tertarik untuk melanjutkannya.

Saya nikmati satu demi satu cerpennya. Masing-masing membawa serta budaya nusantara sebagai latar belakang ceritanya. Ada air akar, yang menjadi judul bukunya, ternyata merupakan ramuan warisan leluhur yang biasa digunakan di daerah Lubuklinggau. Dikemas dengan kisah perjuangan seorang guru muda yang penuh semangat untuk memajukan masyarakat daerah.

Berbagai kisah lainnya juga seru untuk disimak. Dengan tambahan aroma budaya di berbagai wilayah di Indonesia, buku ini memberikan banyak pengetahuan baru tentang kekayaan negara kita. Asiknya, hal itu bisa dinikmati dalam cerita fiksi yang tidak terkesan informatif.

Dengan ukuran yang tidak terlalu tebal, buku ini bisa saya selesaikan dalam sehari saja.  Kisah-kisah dalam cerpennya juga menarik. Alurnya, penokohannya, klimaksnya dan endingnya benar-benar membuat saya ingin melanjutkan membacanya tanpa jeda. Padahal ya, emak-emak beranak dua seperti saya kan rasanya agak susah jika ingin meluangkan waktu khusus membaca satu buku penuh ketika anak-anak belum tidur.

Secara keseluruhan buku ini keren menurut saya. Hanya sedikit kekurangan, yaitu biodata penulisnya ada yang dicantumkan dan ada pula yang tidak. Padahal menurut saya, penting juga agar pembaca bisa mengenalnya. Ada tiga karya yang tidak dilengkapi dengan biodata penulisnya. Juga tetang keseragaman pada informasi tetang penulis, ada yang dilengkapi foto dan ada pula yang tidak. Mungkin ada yang berpendapat itu tak penting, tapi bagi saya hal ini cukup membuat kurang rapi.

#BelajarResensi
#Tulisan1


Sabtu, 23 September 2017

Adab Sebelum Ilmu

Dulu, saya sering merasa sedih, kecewa terus menyesaaal ketika mendapat info tentang suatu acara seminar atau workshop yang ingin saya datangi namun ternyata gagal terlaksana karena tidak diperkenankan membawa anak. Rasanya gimanaaa, gitu. Padahal manfaatnya juga buat anak.

Ibu rumah tangga tanpa ART dan sering ditinggal suami ke luar kota membuat saya lah yang harus menjaga anak-anak sepenuhnya. Nggak bisa menitipkan pada orang lain, jika saya pergi anak-anak selalu turut serta. Maka jika suatu acara tak memperbolehkan membawa anak, saya tak bisa ikut serta.

Hingga saya mendapat materi tentang adab menuntut ilmu dari Matrikulasi IIP waktu itu. Bu Septi menjelaskan tentang pentingnya menanyakan dulu, apakah suatu majelis ilmu memperbolehkan mengajak anak. Jika tidak, jangan gadaikan kemuliaan anak dengan keinginan kita. Jangan sampai kita mengabaikan anak demi urusan kita.

Benar juga sih, jika bukan kemauan anak, pasti mereka cepat bosan, jadinya rewel. Kita pun jadi tidak bisa maksimal belajar. Niat mencari ilmu tapi malah mengurangi hak anak. Lebih baik menunda dulu belajarnya hingga anak-anak telah siap kita tinggal.
"Bersungguh-sungguhlah di dalam, dan kau akan keluar dengan kesungguhan itu."
Nasihat ini selalu saya ingat. Suami, anak, keluarga dulu prioritas utama.

Terkait dengan hobi saya, beberapa kali mendapat info pelatihan menulis offline. Mata sudah berbinar ingin ikut serta. Namun, lagi-lagi terkendala dengan kondisi. Jika jadwal pelatihan di hari kerja, bisa tidak membawa anak, karena mereka sekolah. Tapi, yang jemput anak-anak siapa? Jika pun mereka ikut jemputan sekolah, sampai rumah tak ada orang jika saya pergi. Kalau pelatihan week end, masih bisa ikut jika ada kids corner, kalau tak? Aaahh...masih harus sering membaca lagi mantra dari Bu Septi.

Rejeki itu pasti, kemuliaan yang dicari. Rasanya kalimat itu juga pas untuk meyakinkan saya bahwa sekarang belum rejeki saya ikut beberapa pelatihan offline itu. Pasti ada hikmah di balik semua ini. Apa yang saya dapat jika banyak mendapat ilmu baru tapi menjauhkan saya dari-Nya, dari perintah-Nya? Bahwa saya harus menjaga dengan baik amanah-Nya?

Kembali meluruskan niat...semua untuk Allah. Mainkan saja peran kita sekarang, biarlah Allah yang mengatur kesudahannya. Terus belajar...banyak jalan menuju kesuksesan..in sya Allah.

#MenulisUntukBelajar
#BelajarUntukMenulis

Sabtu, 09 September 2017

Perempuan Itu Ibuku

PEREMPUAN ITU IBUKU

Perempuan itu menangis menyaksikan suaminya tiada
Sendiri memeluk dua anaknya
Adakah salah dalam takdirku, tanyanya pilu
Diam tertunduk lesu, dialah ibuku

Aku menjadi saksi perempuan itu bangkit
Walau menahan perih pundak dan kaki sakit
Mulut terkunci menahan lidah kelu
Tangannya mengepal, dialah ibuku

Tertatih perempuan itu melangkah
Penuh semangat tak pernah goyah
Dalam doa perempuan itu mengadu
Memohon dengan tangan tengadah, dialah ibuku

Dialah ibuku, perempuan biasa yang kuidolakan
Dialah ibuku, perempuan biasa dengan segala kekuatan

Kamis, 24 Agustus 2017

Rindu

Henky memacu mobilnya agar segera sampai rumah. Tugasnya ke luar kota membuatnya tak tahan memendam rindu. Ia membayangkan istrinya di rumah sedang asyik bermain dengan Boni, anjing mereka.

Henky keluar dari mobil. Dugaannya benar.

“Haiii Sayang…” istrinya menyambut kedatangannya sambil menggendong Boni.

“Haaaiii…aku sangat rindu padamu” Henky mencium Boni dan mengambilnya dari sang istri.

#Belajar Flash Fiction
#Romance
#Tulisan5

Hadiah Kejutan

Aku akan segera pulang membawakanmu kejutan

“Laki-laki yang penuh pengertian” gumam Nina setelah membaca sms dari suaminya. Wajahnya ceria.

Kemarin ia menceritakan pada suaminya yang sedang ke luar kota betapa repotnya seharian mengurus rumah dan mengasuh anak balita mereka. Nina tersenyum membayangkan hadiah yang akan diberikan sang suami. Nina bersiap menyambut kedatangan suaminya.

Terdengar suara mobil memasuki halaman. Nina segera menggendong anaknya. Suaminya keluar dari mobil sambil tersenyum. Nina melihat sesuatu.

“Untuk meringankan pekerjaanmu, sengaja aku membawakanmu…” suaminya membuka pintu mobil.

Tiba-tiba pandangan Nina menjadi gelap setelah melihat suaminya menggandeng wanita cantik keluar dari mobilnya.

#Belajar Flash Fiction
#Romance
#Tulisan4

Sabtu, 19 Agustus 2017

Sudah Adilkah Saya?

Pertanyaan di atas mengganggu pikiran saya beberapa bulan terakhir. Saya merasa belum bisa menempatkan diri dengan baik. Ada sesuatu yang harus diperbaiki.

Berawal dari protes yang dilayangkan Mas, putra sulung saya tentang antar jemput sekolahnya. Selama ini ia pulang diantar jemputan dari sekolah. Sedangkan adiknya, masih TK dan beda lokasi sekolah, pulang pergi bersama saya. Mas menanyakan mengapa ia tak diantar jemput oleh saya juga.
"Mas belum pernah dijemput Ibu" protesnya suatu hari.

Saya bukannya tak mau. Saya baru belajar mengendarai sepeda listrik. Dengan mengumpulkan kekuatan saya belajar memboncengkan dan saya coba dulu untuk rute dekat. Makanya saya baru berani mengantar Adik ke sekolahnya. Saya sudah menjelaskan hal ini pada Mas, bahwa saya masih belajar. Sebenarnya Mas sudah cukup mengerti, namun protesnya waktu itu tetap saja membuat beban bagi saya.

Protesnya adalah bentuk ungkapan irinya. Saya merenung. Apakah benar, sikap saya telah menunjukkan bahwa saya telah berlaku tak adil padanya? Hingga ia merasa saya tak memperlakukannya sama dengan adiknya?

Demi menunjukkan bahwa saya pun senang jika bisa mengantar dan menjemputnya sekolah, saya berusaha untuk bisa memboncengkan dua anak sekaligus. Karena saya harus membawa serta adiknya saat mengantar dan menjemput Mas. Bismillaah, dengan sepenuh kekuatan saya beranikan diri untuk melakukannya. Terhitung mulai awal tahun ajaran baru ini saya telah bertambah jabatan, menjadi pengantar jemput Mas :-)

Ma sya Allah, perubahan sikap Mas saya rasakan. Saya bandingkan sikapnya dulu dan sekarang. Jika dulu ia sering berbuat iseng menggoda adiknya, sekarang berubah menjadi lebih lembut dan berkurang isengnya. Ekspresinya saat pulang sekolah pun lebih ceria, lebih terbuka dengan menceritakan berbagai hal, sebelum saya menanyakannya.

Alhamdulillaah, saya masih diberi kesempatan memperbaiki kesalahan yang tak sengaja ini padanya. Karena kurang ilmu, si sulung malah menjadi guru. Masih terus berpikir,  sudah adilkah saya?

#BelajarUntukMenulis
#MenulisUntukBelajar

Rabu, 16 Agustus 2017

Menghadap Raja

Hari Senin kemarin di sela-sela belajar tahsin, teman bercerita tentang kebiasaan ibunya yang selalu mandi sebelum melaksanakan sholat. Ma sya Allah..beliau menjaga kebersihan badannya sebelum menghadap Allah untuk berdoa.

Kisah teman saya tadi mengingatkan saya pada kisah seorang imam zaman dulu yang selalu memakai baju terindahnya dalam setiap tahajud.

Betapa orang-orang itu menjaga kebersihan dan penampilan terbaiknya pada saat sholat, menghadap-Nya. Sungguh suatu bentuk kecintaan, ketaatan, dan penghormatan yang tinggi pada Sang Maha Agung.

Jika kita ingin menemui tamu yang kita hormati saja tentu kita mempersiapkan diri sebaik mungkin. Atau pergi menghadiri suatu undangan, tentulah kita dandan dan ingin tampak rapi dilihat banyak orang. Kita malu jika tampil seadanya. Tapi bagaimana dengan penampilan kita saat memenuhi panggilan Allah dalam sholat?

Astaghfirullaah..pelajaran untuk saya agar terus memperbaiki diri. Masih sering saya lakukan, karena sedang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, membuat saya sholat dengan penampilan seadanya. Padahal, jika misalnya tiba-tiba ada Pak Camat datang, tidak mungkin lah saya juga menemuinya dengan baju rumah dan jilbab mencong. Lha ini sholat, memenuhi panggilan Allah, Sang Raja alam semesta, pantaskah saya tampil seadanya?

Hikmah dan teguran bisa datang dari mana saja. Alhamdulillaah, dari kisah sederhana ibu teman saya yang selalu mandi sebelum sholatnya memberikan inspirasi bagi saya untuk memperbaiki penampilan saat sholat. Mungkin saya belum langsung bisa untuk selalu mandi dan memakai baju baru dalam setiap sholat, namun saya berusaha memperbaiki penampilan sebelum sholat. Jika selesai masak, dan badan bau keringat ya mandi dulu. Meski bukan baju baru, ya paling tidak bukan daster butut yang dipakai untuk sholat. Meski memakai jilbab, rambut tetap disisir rapi. Masih terus belajar untuk konsisten menjalaninya juga.

#BelajarUntukMenulis
#MenulisUntukBelajar