Aku, Bayanganku dan Cinta Monyet Itu
Mengingat masa remaja konon menyenangkan. Namun bagiku, ada beberapa hal yang membuat dahi berkerut saat mengenangnya.
Masa kecilku tinggal di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Orangtuaku berprofesi sebagai guru. Sejak kecil aku telah dilatih untuk berprestasi, terutama di bidang akademik. Tak heran saat SD, aku selalu mendapat ranking satu. Enam tahun selalu menjadi juara kelas. Aku merasa bangga atas prestasiku tersebut. Namun memasuki SMP, aku mulai merasakan hal yang berbeda.
Saat lulus SD, aku masuk SMP di kota kecamatan, yang berarti bergabung dengan banyak teman dari SD berbeda. Pergaulanku pun semakin luas. Aku mulai mengenal lagu-lagu dengan Bahasa Inggris dan beberapa majalah remaja. Aku juga mulai mengikuti beberapa ekstra kurikuler. Aku menikmatinya. Tapi ada ketakutan yang kualami terkait prestasi akademikku.
Aku sangat ketakutan jika nilaiku jelek. Selain karena tuntutan orangtua, aku juga merasa malu jika aku tak mendapat ranking satu. Pikiranku membayangkan ejekan orang jika aku yang sewaktu SD selalu juara kelas sekarang tak lagi berprestasi. Aku ketakutan dengan bayanganku sendiri.
Sebenarnya orangtuaku pun tak menuntut aku harus ranking satu. Target mereka aku masih masuk sepuluh besar di kelas unggulan. Tapi aku terlanjur dibayangi targetku sendiri. Aku jadi sangat egois. Tiap mengerjakan soal aku tak mau berbagi jawaban dengan teman. Aku cenderung menyendiri.
Karena ketakutanku itu, aku tak mempunyai teman dekat. Semua kuanggap ancaman bagi posisi meraih ranking di kelas. Aku terlalu serius dalam menghadapi pelajaran. Padahal di sisi lain, masa puberku mulai terjadi. Aku merasa tertarik pada lawan jenis.
Aku galau sendiri. Aku menyimpan sendiri rasa ketertarikanku. Tak ada teman yang bisa kuajak cerita. Aku pun tak berani berkisah pada orangtua. Bisa runyam kalau sampai ayah ibuku tahu bahwa aku sedang jatuh cinta. Mereka termasuk tipe orangtua yang melarang anaknya untuk pacaran di masa sekolah. Mereka beralasan bahwa pacaran hanya akan meghambat prestasi belajar.
Kegundahanku hanya membuatku tak bisa konsentrasi. Alih-alih mengejar ranking satu, mengikuti pelajaran pun banyak yang tak masuk otak. Beberapa kali aku tak mencatat materi dan menjawab soal dengan asal saja. Kelas satu dan kelas dua aku hanya masuk sepuluh besar. Aku sedih dan kecewa.
Kenaikan kelas tiga menjadi langkah awalku memasuki semangat baru. Aku tak lagi memikirkan apa kata orang jika aku tak lagi juara kelas. Aku juga sudah menyingkirkan rasa “cinta monyet” ku. Aku mulai mempunyai target baru, masuk SMA di kota lain, salas satu SMA favorit di karesidenanku. Dan untuk bisa masuk SMA itu, lulusan SMP luar daerah sepertiku harus dengan NEM (Nilai EBTANAS Murni) yang tinggi melebihi NEM SMP kota tersebut.
Aku mulai serius belajar dengan sungguh-sungguh. Dan aku mulai terbuka dengan teman-teman. Beberapa diantaranya juga berniat mendaftar di SMA favorit itu. Kami berjuang bersama. Ketakutanku kini kulawan dengan tekun belajar dan berdoa.
Aaah, mengenang masa SMP memberiku hikmah kehidupan yang luar biasa. Bahwa kadang kita terbelenggu oleh ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Kita takut pada bayangan tentang bagaimana orang lain memandang kita, padahal belum tentu orang lain mempunyai pikiran yang sama dengan yang kita khawatirkan. Mari berpikir positif, selalu!
#30Day Writing Challenge
#Day 1
#BelajarMenulis
#Day3
#Odopfor99days
Tidak ada komentar:
Posting Komentar